Bab III
MEYAKINI PARA RASUL
Asyhaadu’allaa ilaaha illallaahu,
wa asyhadu annaa muhammadur-rasulallahu.
“Allah memilih para utusan (rasul) dari malaikat dan manusia.........”
(QS 22:75)
B
|
egitu banyak
tak terhitung rasul-rasul yang telah Allah utus di kehidupan dunia ini, dan
mereka percaya serta sadar dirinya adalah sebagai utusan Allah di dunia. Namun
hampir seluruh kemanusiaan tidak menyadari dan percaya bahwa dirinya
sebagai rasul (utusan) Allah yang diutus ke dunia sebagai wakil atau
khalifah-Nya yang saling membawa dan menyampaikan rahmat Tuhan-Nya kepada
sesama makhluk.
“Dan ada
beberaqpa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada pula beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka
kepadamu.....” (QS 9:24)
Mereka, yang
menyadari dan percaya maupun yang tidak, sebenarnya selalu atau telah
menyampaikan kebenaran dan menyuruh meninggalkan keburukan, paling tidak kepada
sanak keluarganya, sekecil apapun ruang lingkupnya, bahkan hanya untuk dirinya
sendiri. Dan saling menasehati kepada kebaikan, juga selalu berharap kebaikan.
Serta menganggap kesalahan atau dosa adalah hal kecil yang dapat dimaafkan,
kemudian pasti berharap dapat memperbaikinya dengan tanpa mengulanginya
kembali. Itulah kebaikan yang sedari dulu terjaga hingga sekarang sebagai norma
hidup.
Sayangnya, kebanyakan tidak
menyadari diri-nya adalah bagian dari para rasul yang diutus Allah,
padahal pada kesadaran itulah Allah berkehendak pada kemanusiaan yang menjadi
rahmat bagi seluruh alam. Khalifah di bumi, sebagaimana bapak mereka Adam
diutus pertama kali sebagai peng-awal dari kemanusian yang bermanusiawi dan
ber-kerasulan. Dan beliaulah sebagai yang pertama terjerumus kelalaian
akibat bujuk rayu setan, sebagai utusan iblis yang bertugas di wilayah
dada, di permukaan luar dari hati atau kalbu kemanusiaan.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta alam, dibawa
turun oleh Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu menjadi salah seorang yang
memberi peringatan.” (QS 26:192-194)
Sayangnya, kemanusiaan lebih
menyukai menjaga jarak antara dirinya dengan Tuhannya, yang dengan
kehati-hatiannya cenderung melepaskan apa yang telah menjadi kehendak-Nya agar
sebagai yang saling menyampaikan kebenaran, kebaikan dan saling menasehati
dalam kesabaran. Hal tersebutlah yang
semakin menjauhkan dirinya dari menyadari fitrah-nya yang juga merupakan
menjadi tugas-tugasnya di kehidupan dunia ini. Jika Allah saja menaruh keyakinan
(sebagai Al Mu’min) yang amat
tinggi kepada penciptaan kemanusiaan sebagai khalifah bagi kesempurnaan
dari seluruh penciptaan-Nya, yaitu semesta alam, sekalipun para malaikat sempat
meragukan-Nya (QS 2:30), tetapi kemanusiaan malah, terjebak dengan kehati-hatiannya,
menjaga jarak dari fitrah dan tugas yang diberikan Allah
kepadanya. Padahal, kemanusiaan telah berani memikul amanat tersebut. Namun,
memang, dalam setiap anugerah yang diberikan kepadanya, kemanusiaan hendaknya
tidak menjadi berlebihan dalam menyikapinya, sehingga tidak menjadikannya
sombong dan takabur dengan tugas kerasulan tersebut. Akan tetapi, menyadari
fitrah dan tugas-nya sebagai amanat yang harus ditunaikannya adalah hal yang
utama.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan
gunung-gunung,
maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan
dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (QS 33:72)
Sekedar
mengingatkan, dalam rukun iman yang ke tiga ini, ulasannya hanya mengenai kerasulan,
dan sekilas saja tentang kenabian hanya sebagai perbandingan. Jika
sebelumnya, pada uraian keimanan kepada malaikat, kita telah mengkaji beberapa
sifat kemalaikatan yang meliputi diri manusia, maka begitu pula dengan sifat
kerasulan pada manusia sebagai suatu tugas dari Allah yang sangat perlu
disadari dan dipercayai (diimani), sebagai salah satu syarat berkeimanan.
Sehingga semakin mengukuhkan kembali rasa keimanan yang sebelumnya mempercayai
hanya kepada rasul-rasul yang telah dikubur sejak lama. Dan dianggap telah
tiada lagi rasul-rasul penerus, padahal setiap hari kita sering
mendengar para penyampai kebaikan di sekitar kita yang selalu
mengingatkan kebaikan, itu pulalah sesungguhnya rasul Allah. Itu akibat
kita hanya terpaku hanya kepada rasul-rasul yang terkemuka saja, dan tidak
menggunakan kerasulan kita lebih maksimal lagi seperti mereka yang
mendapatkan kemuliaan karena kesabaran dan kesungguhannya.
Mereka yang
terkemuka dan banyak namanya disebut di dalam al Qur’an, dengan kesabaran dan
kesungguhannya sebagai teladan serta contoh baik dari kerasulan mereka. Bila
dengan kenabian-nya mereka selain menyampaikan wahyu yang diterimanya,
juga lebih terfokus memperbaiki dan membangun kehidupan sosial umat. Hanya saja
perbedaan ketugasannya seorang rasul lebih terbatas, maka seorang nabi
sudah pasti seorang rasul, keduanya adalah karena kemanusiaan-nya
yang memiliki fitrah sebagaimana kemanusiaan lainnya menerima fitrah yang sama,
sebagai yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Sehingga jangan sampai terkecoh
oleh jabatan rasul yang hanya diberikan kepada orang-orang yang
dimuliakan-Nya saja. Dekatilah kemuliaan itu, dan jika Allah menghendaki,
terimalah sebagai anugerah yang perlu disyukuri.
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seseorang
laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah rasul Allah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
esgala sesuatu.” (QS 33:40)
Berakhirnya kenabian
pada diri Muhammad SAW (bin Abdullah) bukanlah berarti berakhirnya pula kerasulan
pada kemanusiaan di muka bumi, melainkan kerasulan pada diri-diri kemanusiaan
selalu akan terus berlangsung secara berkisanambungan sebagai yang saling
menyampaikan rahmat petunjuk Allah. Rahmat petunjuk Allah tidaklah berhenti
setelah beliau wafat, melainkan terus berlanjut melalui diri-diri yang berlaku
lurus, yang selalu menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, yang saling
mengingatkan atau saling nasehat-menasehati, kesemuanya dilakukan secara ikhlas
tanpa mengharap upah atau mencari kelebihan. Maka adalah tak masuk akal bagi
mereka yang mempercayai kerasulan pun ikut berhenti setelah wafatnya beliau,
bila demikian, maka berhenti pulalah cahaya Allah kepada diri-diri
kemanusiaan sebagai yang saling memberikan petunjuk diantara mereka.
Kerasulan,
sesungguhnya telah dianugerahkan kepada setiap diri kemanusiaan yang
bermanusiawi sebagai wujud yang terpuji dari perwujudan Dia yang
Maha Terpuji, yaitu setiap diri yang telah beriman dan mengkokohkan kembali
keimanannya, sehingga menyadari dan bersaksi dengan menjaga amal
perbuatannya sebagai amal perbuatan seorang utusan yang diamanatkan oleh
Tuhannya. Inilah yang dimaksud dengan .... wa asyhadu anna muhammadur-rasulallahu, sebagai persaksian diri ini untuk menerima dan
menjalankan amanat Allah tersebut.
Kata muhammad
pada bunyi syahadat adalah tidak hanya tertuju kepada nama “Muhammad bin
Abdullah” saja, nabi dan rasul kita, melainkan merupakan salah satu sifat
Allah sebagai Yang Maha Terpuji yang dianugerahkan pula kepada diri-diri
kemanusiaan. Memang benar, kemanusiaan yang pertama mendapat anugerah
gelar ke-muhammad-an tersebut
dari Allah adalah Ahmad bin Abdullah (nama yang diberikan oleh kakek beliau,
Abdul Muthalib), kemudian nama Muhammad jadi lebih melekat kepada
beliau.
“.... yaitu
Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad SAW) ....” (QS 61:6)
Gelar kenabian
memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari tanggung jawab kerasulan.
Kita dapat membandingkannya setelah memahami makna kisah nabi Yunus yang
mendapat azab dari Allah karena meninggalkan (dari tugas kenabiannya)
umatnya yang masih dalam kesesatan (QS 21:87, 37:139-148, 10:98).
Kemudian
kisah tiga orang rasul (tidak disebutkan nama-namanya) di suatu negri
yang mendapat tugas mengingatkan dan memperingatkan kaumnya (36:13-29). Ketiga
orang rasul tersebut tidak mengalami hukuman dari Allah, sekalipun tidak
diceritakan lagi bagaimana kelanjutan tentang mereka (ketiga rasul). Hanya
kisah seorang rajul yang membantu ketiga orang rasul tersebut yang
kemudian dikisahkan sebagai kelanjutannya.
Bila telah
memahami kisah-kisah tersebut serta makna kerasulan pada setiap diri
kemanusiaan, maka makna syahadat akan menjadi lebih bertanggung jawab
bersama segala konsekuensinya kepada diri yang mengucapkannya. Yaitu sebagai
yang menyadari fitrah dan tugas yang diamanatkan kepada dirinya.
Sehingga makna yang dapat
dipahami, sebenarnya ke-muhammad-an adalah gelar bagi diri-diri
kemanusiaan sebagai wujud dari perwujudan Dia Yang Maha Terpuji.
Kemanusiaan yang menjadi wakil-Nya di bumi sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Begitulah sebagai fitrah bagi setiap diri kemanusiaan yang telah
ditetapkan-Nya agar mewujudkan segala sifat-Nya di muka bumi.
“Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka (para malaikat) berkata, mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan
padanya dan saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan
berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Kita tentu
mengagumi seseorang yang menghiaasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji,
sebagai yang memiliki keindahan dan menentramkan hati bila bersamanya. Dan
seperti itulah yang dikatakan nabi Muhammad rasulullah SAW, berakhlaklah dengan akhlak Allah. Dan
Allah tidak hanya menurunkan firman-firman berupa petunjuk agar dapat mencapai
akhlak yang terpuji pada diri-diri kemanusiaan, melainkan pula Dia berikan
seorang nabi Muhammad (Ahmad bin Abdullah) untuk sebagai contoh teladan bagi
umat manusia. Begitulah makna wujud yang terpuji (muhammad) sebagai perwujudan Dia Yang
Maha Terpuji (Muhammad). Dan agar
diri kemanusiaan mengambil contoh keteladanan beliau sebagai yang terpuji
dengan berakhlak sifat-sifat Allah, yang merupakan wakil Tuhan di bumi yang
mewujudkan sifat-sifat Allah sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Dengan
demikian, kehadiran Tuhan akan menjadi jauh lebih terasa di dalam dada pada
diri-diri yang mengucapkan syahadat ini, karena telah memahami bahwa Tuhannya
selalu bersamanya setiap saat dalam setiap amal perbuatannya. Maka dirinya akan
selalu menjaga dan menjunjung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang merupakan
sifat-sifat yang memiliki akhlak terpuji.
Dengan tidak
mengurangi nama besar beliau, yang dimuliakan oleh Allah (dan tidaklah
siapapun yang sanggup mengurangi atau melebihkan dari apa-apa yang telah
ditetapkan dan dikehendaki Allah), dalam mengulas makna syahadat ini, akan
tetapi lebih kepada mengembalikan arti dan makna asalnya. Bukan pula hendak
melepaskan nama beliau dari bunyi syahadat, akan tetapi memang begitulah
makna sesungguhnya berdasarkan penerjemahan dari bahasa yang
digunakan.
Tentulah
syahadat bukan sekedar perjanjian atau persaksian yang bermakna
kiasan, kita bersaksi kepada sosok bersifat mulia, yang wujudnya seperti kita
(kemanusiaan) yang kita tidak pernah melihatnya, telah lama tidak ada, dan
hanya tertinggal kisahnya. Melainkan dapat meresapi makna sejati dari syahadat
atau persaksian itu, yang adalah suatu ikrar pengikatan diri sebagai
pengucapnya dengan Dia sebagai Tuhannya. Janji mengakui atau persaksian bahwa
dirinya yang adalah perwujudan dari wujud Dia Yang Maha Terpuji, sebagai
rasulullaah atau utusan Allah yang saling menebarkan rahmat Tuhannya
kepada sesama makhluk Allah di seluruh semesta alam, seperti yang telah diteladankan
nabi kita Muhammad SAW.
Bila disadur
atau diterjemahkan kedalam bahasa kita, maka bunyinya adalah, “aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan
wujud yang terpuji (perwujudan dari yang Maha Terpuji) ini adalah utusan
Allah”, maka segala
tanggung jawab serta segala macam konsekuensi dari fitrah dan tugas
yang diembannya akan menjadi beban amanat bagi diri pengucapnya.
Dan bila makna ini telah meresap disadari, melekat dalam setiap shalat
diucapkan pada setiap tahiyatnya, insya Allah akan menemukan sejatinya
diri sendiri, dan kepada siapa diri ini bergantung.
Itulah makna
kerasulan pada setiap diri kemanusiaan yang di dalam syahadat (persaksian)-nya
diharapkan dapat membawa diri kepada saling menjaga keadilan dan keberadaban,
serta saling berbagi rahmat kepada semesta alam. Bila makna syahadat telah
dapat diterima secara lapang (legowo)
oleh dada, maka rukun iman yang ke tiga ini, yaitu menyadari tugas kerasulan
yang disandangnya sebagai salah satu keimanan yang wajib diimani, akan menjadi ruh
dalam setiap gerak amal perbuatannya sebagai manusia yang terpuji perwujudan
dari Dia Yang Maha Tepuji arah segala pujian tertuju.
Mari
kita melangkah lagi kepada uraian wujud yang terpuji ini yang merupakan
utusan-Nya, untuk lebih mengenal diri dan mengukuhkan kembali keimanan yang
sebelumnya tercerai-berai oleh makna-makna yang sebelumnya ghaib dan dapat pula
mengecohkan pemahaman, semoga Allah mengembalikan kita kepada pemahaman yang
haqq, yang datang dari sisi-Nya yang Maha Haqq.
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang
rasul dari kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, mensucikan kamu, dan mengajarkan
kepadamu kitab dan
hikmah, serta mengajarkan
apa-apa yang belum kamu ketahui.” (QS 2:151)
Uraian
selanjutnya tentang kerasulan sangat berhubungan erat dengan uraian
sebelumnya yaitu keimanan kepada malaikat. Kerasulan pada diri manusia dengan
jasad perwujudannya yang terdiri dari para malaikat sebagai aparat yang
menjalankan segala perintah Allah. Perintah atau kehendak Allah tersebut,
dikerjakan para aparat-Nya dengan tugas sebagai utusan pembawa perintah
atau kehendak-Nya inilah yang disebut rasul. Jadi rasul adalah
aparat Allah (malaikat) yang menyentuh diri kemanusiaan yang bertugas
sebagai utusan yang menyampaikan perintah dan kehendak Allah. Yang
menyentuh di sini bermaksud diberikan, bahwa kerasulan tersebut selain
untuk dirinya juga untuk disampaikan keluar kepada selain dirinya sebagai yang
bermanfaat dari rahmat Tuhannya.
“Allah memilih utusan-utusan (rasul) dari malaikat dan menusia, ......” (QS 22:75)
“Dan setiap umat (memiliki) rasul......” (QS 10:47)
Sedangkan
segala sesuatunya tidaklah terlepas dari setiap kehendak-Nya, maka menjadi
jelaslah, bahwa segala sesuatu pun merupakan utusan Allah sebagai aparat
yang menjalankan kehendak-Nya yang berupa petunjuk bagi makhluk lainnya.
Sehingga pada diri kemanusiaan yang telah menyadari dengan bersyahadat, maka
keterikatan janji tersebut bukan hanya pada bathin-nya saja, melainkan termasuk
dengan segala apa yang berada di dalam tubuh jasadnya pun ikut bersaksi untuk
menjadi utusan-Nya.
Segala sesuatu yang tersebar di
alam ini merupakan para aparat (malaikat) dan rasul-Nya. Adakah dari segala
sesuatu tersebut yang tidak mendatangkan manfaat bagi kehidupan kemanusiaan?
Seluruhnya adalah pembawa dan penyampai kuasa dan kehendak Allah
kepada setiap segala sesuatu tersebut itu sendiri, termasuk pada diri-diri
kemanusiaan.
Para Rasul Minallaahu
Utusan
(rasul) yang ada di dalam diri-diri setiap kemanusiaan dan diperintah langsung
dari Allaahu ala arsyitawaa (Ar Raahman), yang disebut rasul minallaahu, membawa
berita-berita kebenaran dari yang Maha Benar (al Haqq) dan ditanamkan di dalam
hatinya, untuk meneguhkan kembali hatinya yang yang telah beriman, dan
sebagai petunjuk serta berita gembira bagi mereka yang telah
berserah diri.
“Katakanlah, ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan
kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk
serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS 16:102)
Inilah
sosok yang berpengaruh di dalam dada diri kemanusiaannya sendiri yang
diliputi oleh ruhul kudus (malaikat Jibril), yang keberadaanya karena
diperintah langsung dan sebagai penghubung langsungnya dengan Allaahu ala
arsyitawaa (tempat tunggal-Nya), yang merupakan ruh suci membawa
pesan atau berita suci (petunjuk) dari yang Maha Suci kepada diri (jiwa)
dan tubuh yang telah disucikan. Karena di alam, diri-nya, merupakan perwujudan
dari Allaahu Akbar, dan sedangkan jasad-nya sebagai baithullah. Maka
niat dan amal perbuatannya adalah suci dari kesalahan, keburukan, dan mudharat.
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah
berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang
tabir
atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang Dia kejendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana” (QS 42:51)
Energi penuh kesucian inilah
yang hadir dan menguatkan hati mereka yang telah beriman dengan membawa
petunjuk-petunjuk dari Tuhannya, sehingga membuat jiwa-nya tenang dan penuh
kedamaian, serta keluar kepada bentuk amal perbuatan yang penuh ketenangan dan
kedamaian pula. Petunjuk-petunjuk yang selalu datang adalah sebagai ilham, ide,
ataupun solusi dari setiap permasalahan kehidupan-nya. Rasul ini selalu berada
bersamanya selama diri-nya menjaga dan memelihara kesucian atau
kebersihan dari setiap segala sesuatu (energi-energi) yang masuk maupun yang
keluar dari diri dan jasad-nya.
Kesuciannya itulah yang sebagai
energi makanan pula bagi setiap aparat di dalam jasad yang
menggerakkan setiap organ fungsi tubuh, sehingga secara keseluruhan,
energi-energi yang menggerakkan seluruh fungsi tubuhpun adalah energi yang
bersih dan suci. Ilmiahnya, maka tubuh menjadi sehat, pikiran pun jernih, maka
jiwanya pun kuat. Karena makanan yang masuk dan didistribusikan kepada seluruh
bagian sel-sel tubuh akan menjadi energi penggerak kehidupan mikro di dalam
tubuh yang makro, yaitu terdiri dari milyaran sel tubuh. Kehidupan di dalam
kehidupan. Kesucian di dalam, amat menentukan kesucian yang akan dikeluarkan
sebagai bentuk amal perbuatan.
Peran
rasul ini akan terasa besar pengaruhnya dan dapat dipahami, karena keterkaitan
dengan uraian rasul lainnya. Keterkaitan (keharmonisan)-nya kepada rasul-rasul
lainnya yang menjadikan semua yang berupa perintah dan petunjuk dapat
terwujud menjadi nikmat yang
dirasakan setiap diri kemanusiaan. Sayangnya, kebanyakan lupa atau
bahkan tidak bersyukur. Perannya pula sangat besar terhadap kecerdasan akal
diri-diri kemanusiaan, karena apa yang disampaikannya adalah petunjuk-petunjuk
yang mengandung kebenaran dari Tuhannya.
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan, yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril)
yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas, dan ......” (QS 53:4-6)
Rasul
inilah yang berhubungan langsung dengan rasul-rasul lainnya baik yang wilayah
tugasnya berada di dalam jasad kemanusiaan maupun yang di luar. Sehingga tak
perlu bingung atau heran lagi, siapakah sesungguhnya yang mengatur mekanisme
kerja seluruh organ tubuh yang berada di dalam jasad kita, bila ternyata
bukanlah kita sendiri yang memerintahkannya, bahkan kehendak kita pun bukan.
Serta yang menjadikan kesadaran kita bekerja setelah masuknya informasi sebagai
petunjuk yang disampaikan rasul ini kepada hati dan akal dari interaksi antara
indera-indera kita (yaitu seperti, penglihatan, pendengaran, dan lainnya)
dengan alam sekitar. Yang ternyata sebagai pembawa pesan atau petunjuk pula
kepada kita, sehingga terjadilah keharmonisan fungsi masing-masingnya.
Demikianlah sehingga kita akan semakin memahami setelah terbukanya kesadaran
demi kesadaran yang mengarahkan diri kita terhadap wujud tunggal Yang
Maha Sempurna dan Maha Tunggal.
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan rasul-Nya, mereka ini akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiiyqiiyn, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS 4:58)
Pada
uraian pengokohan keimanan inilah, sesungguhnya yang dapat membuka dada dan
hati setiap diri untuk memahami serta menyadari arti peran para aparat
Allah ini lebih terasa dan semakin bermanfaat bagi kehidupan, serta kemudian
memahami pentingnya makna bersyukur. Bersyukur karena diberi kesempatan hidup
kembali sebagai sarana pembersihan kesalahan dari kehidupan sebelumnya, dan
masih dipercaya sebagai sarana perwujudan Tuhan-Nya di alam untuk berbagi
rahmat-Nya kepada sesama. Pahamilah ini, sebagai karunia dari Maha Kebijaksanaan
Dia Yang Maha Pemurah. Ar Raahman.
Para Rasul Min Indi'anfusihim
Utusan
(rasul) yang bisa dalam wujud apapun, yang datang dari sekitar membawa
berita-berita kebenaran dari yang Maha Benar (al Haqq), sebagai petunjuk bagi
dirinya dalam mendapatkan kemudahan dari setiap rahmat-Nya.
“Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada rasul Allah. Kalau dia menuruti
kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan..........” (QS 49:7)
Wujudnya bisa apa saja,
orang-orang di sekitar yang membantu kemudahan bagi dirinya, maupun petunjuk
yang di dapatkan dari alam sekitarnya. Yang sesungguhnya adalah atas perintah
atau kehendak Dia. Hingga pada akhirnya dirinya pun ikut serta menjadi rahmat
untuk alam sekitarnya kembali. Bahkan banyak yang mendendangkannya dalam sebuah
lagu atau doa-doa yang mencurahkan isi di hati-nya, entah mengerti-tidaknya,
atau sekedar hanya berharap, seperti lirik-lirik dalam lagu dan syair, burung
yang menyampaikan berita dari yang nun jauh
disana, salam yang disampaikan oleh angin
malam kepada kekasihnya. Dan tentunya masih banyak lagi lainnya, yang
jelas, bahkan (entah) dalam khayalannya saat menciptakan lirik-lirik tersebut,
maka Allah pun menyusupkan petunjuk-Nya sebagai ilham ataupun ide.
Banyak
tanda-tanda yang tersebar di alam ini yang merupakan petunjuk sebagai
pengetahuan yang sangat berguna di kehidupan. Seperti bintang-bintang sebagai
petunjuk arah. Arah angin dan pergerakan awan sebagai petunjuk iklim yang akan
datang ke suatu wilayah untuk dapat diketahui suhu, curah hujan, bahkan terjadi
badai atau tidaknya. Guru-guru yang mendidik para murid, para orangtua yang
selalu menasehati, dan teman yang mengingatkan. Buku-buku sebagai kitab yang
menjelaskan, jam tangan yang menunjukkan waktu, serta tidak ketinggalan, sampai
kepada kokok ayam jantan di kala fajar menyingsing. Sehingga segala sesuatunya
sebagai yang ikut memudahkan kehidupan kemanusiaan, dan dapat diambil
manfaatnya. Mereka itulah, sebagai rasul-rasul min di’anfusihim, pembawa
kebenaran dari yang Maha Benar (al Haqq). Kebenaran yang merupakan
petunjuk bagi diri-diri yang telah siap menerima petunjuk tersebut. Maka
kemanapun kita arahkan penglihatan, rasa, pikiran, serta ilmu dan pengetahuan,
maka yang akan kita temui sebagai ujungnya adalah Allah Yang Maha Tunggal.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap disitulah wajah Allah. .....” (QS 49:7)
Inilah wujud
interaksi antar rasul yang datang dari luar jasad membawa petunjuk,
dengan rasul yang berada di dalam sebagai yang menerima petunjuk.
Energi-nya akan tersambung sinkron dan berharmonisasi bila dalam satu kesatuan,
petunjuk kesucian atau maupun berupa petunjuk kekotoran.
Bila
petunjuk yang akan hadir adalah petunjuk kesucian yang memiliki nilai-nilai
kebaikan dan kebenaran, sementara yang di dalam masih dipenuhi
kekotoran, maka kehadirannya takkan memiliki arti atau makna sebagai petunjuk,
sekalipun dipaksakan. Inilah makna, ada dinding pembatas antara kebaikan
dan keburukan.
Juga makna, hatinya telah
tertutup, hatinya telah membatu, serta bukan mata tak melihat dan
telinga tak mendengar. Demikian pula halnya dengan interaksi yang saling bersambung,
maka jiwanya akan merasa puas dan senang, baik yang saling bersambung antara
dua kesucian, ataupun yang bersambung antara dua kekotoran. Yang satu mendapat
petunjuk kepada keselamatan, dan yang satunya lagi mendapat petunjuk kepada
kesesatan yang semakin dalam dan mencelakakan dirinya sendiri.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (je jalan yang benar).” (QS 16:113)
Telah banyak
disadari kebanyakan diri kemanusiaan, bahwa kerusakan alam yang disebabkan dari
perbuatan mereka juga berakibat kembali kepada dirinya sebagai bencana. Akan
tetapi, bila keinginan dan kebutuhan telah mendesak hawa nafsu mereka, maka hilanglah
kesadarannya tersebut. Hatinya telah tertutup hawa nafsunya yang didominasi
keinginan dan kebutuhannya, sehingga tidak lagi melihat akibat-akibat sebagai
bayang-bayang bencana yang akan mendatanginya kelak di kemudian hari.
Banyak hal
sepele yang kemudian bertumpuk dan menjadi masalah yang pada akhirnya
memberatkan diri mereka sendiri, seperti membuang sampah sembarangan dan
menebangi pohon di halaman rumah. Belum lagi bila sumber nafkahnya yang
bergantung dari alam seperti pertambangan liar dan mencari kayu di hutan, maka
kebutuhan hidupnya yang selalu kurang akan mendorong hawa nafsunya untuk lebih
serakah dan berakibat rusaknya alam. Dan bencana adalah yang akan kembali
kepada mereka, sebagai akibat ulah perbuatan mereka sendiri.
Menjaga
kelestarian alam adalah menjalin persabahatan dengan para malaikat yang
tersebar di alam, sehingga menjaga pula fungsi mereka sebagai penjaga,
penolong, dan pemberi petunjuk yang membantu bagi kemudahan kehidupan kita.
Nikmat Allah berupa alam bagi nafkah kehidupnnya akan menjadi bencana bagi diri
mereka sendiri, bila tidak mengelolanya pada nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran.
Tak ada
sesuatupun yang dapat mengingkari nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah.
Hitunglah. Telah berapa kalikah mata melihat kebaikan dan keburukan? Telah
berapa kalikah telinga mendengar suara-suara kebaikan dan keburukan? Telah
berapa kalikah mulut mengucapkan kata-kata atau kalimat kebaikan keburukan? Dan
masih banyak lagi yang takkan sanggup kita rinci satu per satu ketidak
sanggupan kita tersebut.
Menghitungnya
saja tak akan mampu, apalagi mendustakannya. Tidak usah dengan mendustakannya,
melupakannya saja adalah kufur nikmat, maka akibatnya kembali kepada
diri-nya sebagai musibah ataupun bencana yang merugikan dirinya sendiri. Satu
saja malaikat atau rasul-Nya, yaitu yang bekerja di wilayah organ mata kita mogok,
tidak mau bekerja. Atau pada organ pendengaran dan pengucapan, maka musibah
besar bagi kita. Begitu banyak yang kita dengar melalui pendengaran yang
diberikan-Nya, begitu banyak yang kita lihat melalui penglihatan yang
diberikan-Nya, dan begitu banyak yang kita pahami melalui pemahaman yang
diberikan-Nya.
Semuanya begitu banyak dan tak
terhitung sebagai yang dianugerahkan-Nya
pada kehidupan diri-diri kemanusiaan yang sebenarnya hanya hidup menerima.
Anugerah-anugerah tersebut sesungguhnya adalah membawa energi atau
aparat-aparat (malaikat-malaikat) Allah yang bekerja atas perintah dan
kehendak-Nya. Syukurilah nikmat-nikmat yang tak terhitung tersebut dengan
menyebarkannya kembali kepada sesama sebagai mewujudkan apa-apa yang
dikehendaki-Nya, yaitu diri-diri kemanusiaan yang sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Para Rasul Min 'Indillahi
“Dan, sungguh telah datang kepada mereka seorang
rasul dari (kalangan) mereka
sendiri......” (QS 16:113)
Bila disadari secara mendalam, sesungguhnya jasad sebagai wadah
diri (jiwa) ini tersusun dari milyaran makhluk Allah (sebagai perwujudan
Allaahu Akbar), yang kesemuanya pun tunduk pada kuasa serta pemeliharaan Allahu
‘ala ‘arsyis tawaa, maka makhluk-makhluk Allah yang ber-alam di
jasad kita inipun memerlukan aturan (agama) sebagai sistem dasar penggerak
kehidupannya. Maka, selain Allah mengutus malaikat sebagai aparat yang
menjalankan ketetapan-Nya, melainkan diperintahkan-Nya pula rasul-rasul sebagai
utusan khusus-Nya sebagai pembawa petunjuk kepada diri-diri
kemalaikatan yang bekerja membantu kemanusiaan di dalam jasadnya. Yaitu dengan
saling berbagi rahmat, saling menyampaikan perintah dari kehendak-Nya kepada
milyaran makhluk yang ber-alam pada jasad-nya.
Utusan inilah yang membuat kemudahan dalam penyampaian petunjuk,
seperti pada organ-organ jaringan sistem penglihatan mata, sistem pendengaran
pada telinga, dan sistem pengucapan kita untuk melihat dan menyampaikan
informasi dari penglihatannya sebagai suatu petunjuk kebenaran dan kebaikan
tanpa dikotori oleh yang menyesatkan setelah informasi ini sampai kepada hati
atau kalbu.
Dan pada saat itu pulalah, terkadang terasa bisikan-bisikan setan yang
berada di permukaan kalbu, membujuk dan berusaha mengotori informasi
tersebut. Secara ilmiah, dalam ilmu kedokteran pun, ketiganya tersebut,
penglihatan, pendengaran, tenggorokan dan pernafasan adalah satu kesatuan
sistem yang saling mempengaruhi bila salah satunya mengalami disfungsi atau
gangguan-nya. Betapa rumitnya struktur yang menyusun jasad ini yang terdiri
dari milyaran sel sebagai makhluk-makhluk pula dengan bentuk kehidupannya
masing-masing, sebagai satu kesatuan sistem (kehendak) atas perintah-Nya kepada
utusan (rasul)-Nya untuk disampaikan kepada seluruh aparat-Nya.
Tidak usah jauh membayangkan pada milyaran sel-sel tubuh yang demikian
rumit dan butuh penjelasan dengan bahasa-bahasa intelek, maka dengan
keberadaan cacing di dalam tubuh, kutu pada rambut, atau jamur pada kulit,
serta kuman-kuman di mulut, cukuplah mewakili keberadaan makhluk-makhluk yang
menggunakan tubuh atau jasad kita sebagai alam-nya. Bila mereka telah
berubah menjadi pembangkang, maka akan menjadi parasit yang
mengganggu dan beralih dari fungsi sebelumnya. Maka makna, menjaga
kebersihan adalah bagian dari iman, menjadi lebih masuk akal kita. Menjaga
kebersihan adalah juga menjaga kesehatan tubuh, ikut memberi kemudahan aparat
Allah dalam melaksanakan tugasnya, yang ternyata pun kembali kepada diri
sebagai kebaikan.
Juga pada sel-sel darah di dalam tubuh, bila terjadi kesalahan fungsi,
yaitu malaikatnya telah menjadi malaikat pembangkang (iblis), sel-sel darah
putihnya menggerogoti sel-sel darah merahnya, sehingga sel darah putih yang
semula fungsinya sebagai melawan bibit penyakit di dalam darah (sistem kekebalan),
kini berbalik dan malah menjadi sumber penyakit yang menyikat habis sel-sel
darah merah, seperti telah terjadi perang saudara diantara mereka. Maka
diri dan jasad kita yang menerima akibatnya pula. Ya, terjadi pembangkangan
atau pemberontakan di dalam tubuh jasad kemanusiaan, sebagai alam kehidupan
mereka, makhluk-makhluk Allah yang merupakan aparat-aparat (malaikat)-Nya.
Mereka yang tak menjaga kehidupannya dalam kelurusan dan
keseimbangan, termasuk kebersihan, maka akan menciptakan iblis bagi
dirinya sendiri, yaitu para malaikat-nya tidak lagi tunduk patuh membantunya.
Malah menjadi pembangkang yang merusak dan menjadi penyakit pada jasadnya.
Dengan demikian, maka rasul-rasul ini yang bertugas menyampaikan agar mereka
(para pembangkang) dapat kembali kepada jalan lurus seperti yang
dikehendaki Tuhannya. Begitulah sesungguhnya diri (jiwa) ini ternyata ikut
berperan aktif menundukkan (dalam artian positif, mengendalikan),
tidak hanya kepada segala sesuatu yang berada di luar, melainkan juga yang
berada di dalam jasadnya agar tetap berada pada jalan lurus-Nya, sebagai
ketetapan dari kehendak-Nya.
Pada diri
yang masih belumlah kokoh imannya, maka rasul-rasul ini tiada berguna, sehingga
setiap informasi yang diterima kalbu telah dikotori oleh bujuk rayu iblis,
yaitu hawa nafsu-nya sendiri, sehingga timbullah niat amal perbuatan
yang dikotori pula oleh kezhaliman, kehasadan, kefasikan, kemunafikan,
kejahilan, hingga kepada kemusyrikan. Begitu pula pada indera-indera lainnya,
yang dapat menimbulkan ketidak sucian pada hasrat dan keinginan
pada setiap diri kemanusiaan. Kekotoran telah menutupi hati atau kalbu-nya.
Dan bagi orang-orang yang telah
menjadikan jasadnya sebagai baithullah (rumah Allah), yaitu dengan jalan
mensucikan jasadnya dari segala macam pengakuan (nafs atau ego-nya),
maka akan jauh lebih mempermudah pekerjaan para aparat Allah, yaitu malaikat
dan rasul-Nya dalam menyampaikan segala perintah dan kehendak Dia, Allahu ala
arsyis tawaa, yang juga ternyata membawa kebaikan kepada dirinya
pula sebagai rahmat dari-Nya. Sebagai wadah atau perwujudan dari Yang Maha
Terpuji, maka jiwanya harus dapat menyelaraskan antara jasad sebagai wadah dan
energi (malaikat atau aparat Allah) yang menggerakkan untuk hidup kehidupan sebagai
yang tunduk sujud yang sesuai kehendak-Nya, begitulah fitrah
kemanusiaannya.
Para Rasul Tandzilal Adzizir-rahiim
“(yaitu) urusan dari sisi Kami. Sungguh Kamilah
yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu.......”. (QS 44:5-6)
Bumi yang
dibanjiri dari segala penjuru semesta oleh cahaya benda-benda langit,
seperti matahari, milyaran bintang, bulan, serta benda langit lainnya,
merupakan karunia bagi penghuni bumi. Dan sesungguhnya, merupakan petunjuk
besar dari Allah, yang seharusnya disadari oleh diri kemanusiaan, bahwa
Dia mengutamakan hidup kemanusiaan, dan menghendaki setiap diri
menemukan kesejatian manusia-nya. Yaitu sebagai fitarh yang telah
ditetapkan Tuhannya, dengan menjadikan kemanusiaan sebagai khalifah di
muka bumi yang saling menyebarkan rahmat Allah kepada sesama di semesta alam. Rahmatan lil ‘alamiin.
Hanya karena
hendak menciptakan kemanusiaan, maka Dia ciptakan semesta alam ini berikut
isinya, kemudian menyempurnakan kejadiannya agar layak ditempati manusia yang
telah tebarkan-Nya segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Dia-lah Allaahu Rahmaanur-rahiiym. Pelindung
dan Pemelihara. Dia ciptakan semesta alam ini, langit dan bumi serta apa-apa
yang berada diantara keduanya hanya untuk menciptakan kemanusiaan yang
merupakan perwujudan dari sifat-sifat dan rahmat-Nya di alam.
Kembali
kepada cahaya-cahaya yang ‘membanjiri’ bumi, yang merupakan rahmat
Allah. Sesungguhnya cahaya-cahaya atau dapat disebut pula sebagai energi,
yang setiap saat turun ke bumi membawa karunia dan anugerah dari Tuhannya untuk
penghuni bumi dan manusia pada akhirnya, sekalipun tak disadarinya.
Cahaya-cahaya tersebut yang sesungguhnya merupakan aparat Allah atau malaikat,
sebagai aparat pengganti aparat sebelumnya yang telah selesai masa
tugasnya sebagai salah satu unsur dasar atau unsur utama kehidupan,
dan biasa disebut dengan energi, karena energi-energi sebelumnya
tersebut telah berubah bentuknya menjadi rahmat-rahmat Dia yang lain, sementara
kesinambungan kehidupan semesta alam ini haruslah terus berlangsung hingga
waktu yang telah ditetapkan-Nya.
Dengan
energi itulah maka aparat-aparat lainnya yang bertebaran di bumi tercipta pula,
sebagai keberlangsungan kehidupan di bumi. Yaitu, sebagai pembawa dan penyampai
rahmat dan kehendak Tuhannya kepada seluruh makhluk-Nya yang tak pernah benhenti
sampai pada waktu yang telah ditentukan-Nya. Maka hidup dan kehidupan dapat
berlangsung selama cahaya-cahaya tersebut terpancar ke bumi. Adapula
ketetapan-ketetapan Dia yang lain, yang manusia melihatnya sebagai bencana,
tetapi Dia lebih mengetahui dalam menciptakan keseimbangan bagi
kehidupan semesta alam secara keseluruhan di alam raya ini, sedangkan diri-diri
kemanusiaan dengan keterbatasannya, maka hanya menilainya berdasarkan
baik-buruknya saja apa-apa yang sampai dan diterimanya.
Konon, pada
sekitar abad 14, sejarah mencatat, saat setelah meletusnya gunung Tambora di
Nusa Tenggara Timur meletus, debu letusannya yang terbawa oleh angin menutupi
langit atmosfeer di atas benua Eropa sampai beberapa waktu, akibatnya ratusan
ribu jiwa mati kedinginan (belum termasuk hewan ternak), karena suhu menurun
drastis akibat tidak sampainya cahaya matahari menembus awan debu yang
disebabkan letusan gunung tersebut. Itulah kehendak Allah. Subhanallah.
Belumlah lama berselang, badai
di matahari pada satu dekade lalu, dan membuat lidah api raksasa yang
panjangnya dapat mencapai jutaan kilometer, menciptakan gelombang kejut
elektromagnetik yang sampai ke bumi, dan mengakibatkan kerusakan jaringan
komunikasi dan listrik di beberapa negara seperti Taiwan dan Hongkong serta
Kanada. Dapat pula melelehkan satelit yang berada di luar atmosfeer bumi.
“Dan langit
telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Itu adalah
dua contoh terganggunya ‘pekerjaan’ malaikat tandzilal adzizir-rahiim
sebagai pembawa petunjuk yang berupa rahmat Allah bagi kehidupan di bumi, dan
bencanalah jadinya. Dan itupun adalah kehendak-Nya. Serta kedua contoh itu
pula, merupakan terganggunya tugas kerasulan pada malaikat tandzilal
adzizir-rahiim di bumi. Betapa ketergantungannya manusia kepada alam ini
sebagai perwujudan Allah yang Akbar, bahkan kejadian yang jauhnya ribuan
kilometer atau ratusan juta kilometer dapat mempengaruhi kehidupannya.
Bersahabatlah bersama alam yang
dalam bentuk lahir atau nyata kelihatan, juga kenalilah yang bathin-nya
pula sebagai yang membawa energi didalamnya. Alam ini membawa energinya yang
amat dahsyat. Bersahabat dengannya juga akan mengenal pula sifat-nya,
bukan malah merusaknya yang justru akan kembali kepada diri-diri kita sendiri
sebagai bencana dan musibah. Dan itulah maksud atau kehendak Allah dengan,
“sebagai khalifah di muka bumi yang saling menebarkan rahmat Allah
kepada sesama makhluk-Nya di semesta alam. Rahmatan
lil ‘alamiiyn”.
Diri yang ber-Kerasulan
“Dia
mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapapun yang gaib itu. Kecuali
kepada rasul yang diridhai-Nya, maka
sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di
belakangnya. Agar Dia
mengetahui bahwa “rasul-rasul” itu sungguh telah
menyampaikan risalah Tuhannya, sedang
(ilmu-Nya) meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu per satu.” (QS 9:24)
Diri
yang telah didasari pemahaman sifat kerasulannya, dari ikrar persaksiannya dalam
syahadat disetiap shalatnya, akan membawa jiwa (nafs)-nya kepada ketenangan dan
ketentraman, serta berdampak lebih jauh kepada amal perbuatan yang bertanggung
jawab pada kebenaran dan kebaikan. Segala macam yang belum diketahuinya dan
dipahaminya, kelak akan dibuka satu persatu oleh Allaahu ‘ala ‘arsyis
tawaa, sesuai kadar dan ketetapan, serta kehendak-Nya, sebagai bekal sifat
kerasulannya yang disandangnya. Juga sebagai petunjuk serta pemuas dahaganya
akan rasa ingin semakin memahami makna-makna sejati jalan hidup dalam menuju
Dia yang Maha Tunggal. Yang sesungguhnya segala sesuatu bersumber dari dan
mengarah kepada-Nya.
“Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada rasul Allah. Kalau dia menuruti
kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah
menjadikan kamu cinta pada keimanan, dan menjadikannya indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu
benci pada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah
orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS 49:7)
Dan makna ayat tersebut diatas,
sesungguhnya menegaskan kembali bahwa kerasulan meliputi setiap diri
kemanusiaan, hadir dan mempengaruhi kehidupannya. Karena tujuan utama
sesungguhnya Allah menurunkan al Qur’an bukanlah untuk nabi Muhammad SAW karena
beliau telah terbukti memiliki akhlak terpuji dari semenjak sebelum kenabiannya,
melainkan untuk seluruh diri-diri kemanusiaan, maka segala firman yang berada
di dalamnya pun agar dapat menjadi petunjuk dan pelajaran bagi seluruh umat
kemanusiaan. Bukan hanya kerasulan yang telah terhenti sejak Muhammad bin
Abdullah telah tiada, dan bukan hanya pula rasul-rasul yang hadir di luar
dirinya, akan tetapi rasul-rasul yang berada di dalam diri-nya, kerasulan pada
diri-diri kemanusiaannya sendiri.
“Sungguh, engkau adalah seorang
dari rasul-rasul,” (QS 36:3)
Setelah insan kemanusiaan dapat
menerima dan menyadari dirinya sebagai perwujudan dari Yang Maha Terpuji
(muhammad), maka arah kehidupannya telah tentu atau jelas, dan lurus mengarah
kepada amal perbuatan yang terpuji. Dan memeliharanya sebagai bentuk pengabdian
hamba kepada sesama hamba (perwujudan Allahu Akbar), serta pengabdian yang
terpuji kepada Yang Maha Terpuji (perwujudan Allahu Akbar kepada Allahu Arsys
Tawaa) Yang Maha Memerintah dari tempat tunggal-Nya. Yaitu pengabdian
seorang utusan kepada Yang Mengutus, sebagai tugas mulia bagi wujud-wujud yang
terpuji.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu menjadi
salah seorang yang memberi peringatan.” (QS
26:192-194)
Kadar atau
tingkat kerasulan pada setiap kemanusiaan adalah tergantung diri
masing-masingnya dalam memahami makna anugerah kerasulan-nya dan
mengeluarkannya dalam bentuk amal perbuatan. Dan demikianlah keadilan-Nya,
bahkan setiap diripun tidak merasa diberatkan oleh penugasan-Nya tersebut.
Bila merasa, maka diri-nya akan rela dan ikhlas dalam menjalaninya. Bila
tidak merasa akan tugas-nya tersebut, tiada akan menjadi beban baginya,
seolah-olah itu hanya ditugaskan kepada orang-orang pilihan-Nya saja, bukan
kepada diri-nya.
Pilihan tetap ada pada diri
masing-masingnya, kebaikan atau keburukan, maupun yang berada diantara
keduanya. Maka kelak, yang dituainya pun surga atau nerakanya, ataupun yang
berada diantara keduanya. (Kelak, pada bab di belakang, kita akan mencapai pula
kesadaran bahwa sesungguhnya tiadanya pilihan dalam jalan Allah. Ya,
jalan lurus yang hanya satu)
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka
dari sebagian yang lain. Diantaranya ada yang (langsung) Allah berfirman
kepadanya dan sebagian lagi ada yang ditinggikan-Nya beberapa derajat.......” (QS 2:253)
Dia lebihkan
sebagian dari sebagian yang lain, karena mereka pun berbuat lebih dari
perbuatan mereka yang lainnya. Termasuk kerasulan pada diri-diri setiap
kemanusiaan, dari mulai menyadari kerasulan-nya hingga melakukan tugasnya
tersebut dengan kadarnya masing-masing, sehingga membawa kepada derajat yang
berbeda satu sama lainnya. Karena Dia-lah Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana.
Dan setelah ketiga keimanan ini
telah kokoh dipahami dan disadari, maka sekarang, tidaklah gaib lagi.
Bahkan nyata, dekat sekali dan ada bersama-sama diri kita ikut mempengaruhi dan
mengarahkan kehidupan kita. Maka akan lebih mudah untuk menguraikan keimanan
selanjutnya yang memang lebih nyata terasa, atau teraba, atau bahkan terlihat
telah ada bersama kita sejak lama, yaitu Al Qur’an. Akan tetapi, jangan hanya
terpaku hanya kepada yang nyata terlihat saja, melainkan penting pula
memahami makna-maknanya yang lain, yaitu yang nyata terasa tapi tak
terlihat maupun teraba sebagai yang masih ghaib, karena masih perlu dipahami
melalui petunjuk-Nya.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat
melaknati.”
(QS 2:159)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar