Bab II
MEYAKINI PARA MALAIKAT
“Demi
(malikat-malaikat) yang diutus membawa kebaikan, dan yang terbang
dengan kencangnya, yang menyebarkan (rahmat Allah)
seluas-luasnya, dan yang membedakan sejelas-jelasnya (antara yang
benar dan yang salah), dan yang menyampaikan wahyu, untuk menolak alasan-alasan atau
membawa peringatan, sungguh apa yang dijanjikan kepadamu pasti akan
terjadi.”
(QS 77:1-7)
B
|
eriman kepada para malaikat adalah termasuk dalam iman kepada yang ghaib,
yang nyata tidak terlihat. Tetapi, bila telah dada dibuka oleh yang maha
pemberi petunjuk, maka menjadi nyata dan terlihat. Dan mempercayai adanya para
malaikat yang juga merupakan aparat Allah, adalah mempercayai pula
kepada adanya Iblis dan Jin, yang merupakan termasuk kedalam ras
malaikat, juga merupakan bagian dari mengimani kepada segala sesuatu yang ghaib,
yaitu yang tidak dapat diketahui keberadaannya oleh indera kemanusiaan.
Namun bila Allah telah
menghendaki, maka tentulah kemanusiaan akan dapat memahami dan melihat dengan
pandangan mata hatinya yang telah bersih dari segala penyakit hati yang
mengotori dan menghalangi pandangannya terhadap segala hakikat kebenaran.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat : sujudlah kamu kepada Adam! Maka
sujudlah mereka kecuali iblis, dia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk
golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
Pada ayat di atas, penafsirannya, malaikat
yang membangkang dari sujud kepada Adam itulah yang disebut iblis.
Karena pada ayat di atas, diterangkan bahwa Allah memerintahkan hanya kepada para
malaikat, namun mengapa iblis sebagai yang enggan? Hal ini menunjukkan, bahwa iblis adalah
bagian dari ras malaikat (para aparat Allah). Jadi, keberadaan iblis
adalah setelah adanya Adam. Sebab sebelum adanya Adam, mereka, para malaikat
adalah makhluk Allah yang paling patuh dan selalu mensucikan nama-Nya (seperti
yang disebutkan penggalan ayat 30 surah al Baqarah “.....
Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.”). Dan semenjak itulah akhirnya iblis berprofesi sebagai penghasut
setiap diri kemanusiaan kepada jalan yang sesat.
Dari penafsiran ayat tersebut, maka
timbullah pemahaman, bahwa tidak patuh-nya iblis terhadap perintah Tuhannya
adalah refleksi dari sifat ketidak patuhan kemanusiaan terhadap
perintah Tuhannya untuk selalu berada di dalam jalan lurus-Nya.
Sekalipun iblis menjadi yang tidak patuh terhadap Tuhannya, tetapi Allah
sebagai Yang Maha Kuasa pun menghendaki hal tersebut terjadi. Sebab Dia
mengetahui apa yang makhluk-Nya tidak ketahui, sebab dengan begitu Allah ingin
membuktikan bahwa Dia telah menciptakan segala sesuatu, termasuk kemanusiaan
sebagai ciptaan-Nya yang amat sempurna.
Juga ditegaskan lagi di QS al Baqarah ayat 102, tentang
setan-setan, yaitu malaikat Harut dan Marut, yang mengajarkan ilmu sihir di
Babilonia.
“..... Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua malaikat di negri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan kepada seorangpun sebelum mengatakan, seungguhnya kami hanya
cobaan
(bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir. Maka mereka mempelajari dari kedua
malaikat
itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami)
dengan istrinya ...... ” (QS 2:102)
Dalam penciptaan, cahaya-Nya adalah
sebagai unsur dasar segala macam ciptaan setiap makhluk Allah,
termasuk tentunya pada penciptaan malaikat, cahaya selain bersifat menerangkan,
ada pula yang bersifat panas. Mungkin, dari yang bersifat panas inilah malaikat
pembangkang menjadi ada, dan disebut iblis oleh Allah SWT. Seperti
kita tahu, malaikat tercipta dari cahaya, sedangkan iblis dan jin dari api.
Cahaya yang berubah menjadi api begitu
banyak ditemui dalam kehidupan sehari-sehari. Prosesnya, untuk dapat berubah
menjadi api, maka cahaya memerlukan benda yang mudah terbakar, dan bukan benda
yang terbakar itulah api-nya, bukan pula terang-nya, tetapi nyala-nya.
Jelas kita dapat membedakan antara wujud cahaya, terang, dan nyala api. Yaitu
cahaya yang menjadikan terang yang kemanusiaan dapat mengambil manfaat
dengannya sebagai petunjuk, juga cahaya yang menjadikan nyala api
yang membakar sebagai hawa nafsu. Begitulah sifat yang berpasangan dari
cahaya.
Dan keduanya cenderung amat membutuhkan
benda (sebagai fasilitas) untuk diketahui sehingga bermanfaat keberadaannya.
Semua benda menjadi terlihat ada, karena ada cahaya yang menyentuhnya.
Terangnya pun ada pada benda itu. Akan tetapi, berhati-hati pulalah terhadap panas-nya
cahaya, yang dapat berubah menjadi cahaya yang membakar. Ulasan tentang
malaikat sebagai yang diciptakan dari cahaya melalui pancaran cahaya-Nya, atau
energi dasar bagi penciptaan segala sesuatu akan juga diulas pada Kitab II
Bagian ke-4, Lahir & Bathin secara lebih logis lagi, yang insya Allah, akan
menambah keyakinan kita akan keberadaan dan pengaruh-nya sebagai
aparat Allah yang bertugas membantu kemudahan terhadap kehidupan setiap diri
kemanausiaan.
Keduanya pun dapat bertempat pada
setiap diri kemanusiaan yang sebagai ‘benda’ agar fungsinya lebih
berarti. Yang satunya menyampaikan petunjuk, sedangkan yang satunya lagi
menghasut. Yang satunya memberi petunjuk dengan terang-nya, sedangkan
yang satunya lagi menghasut dan membakar dengan panas-nya. Akan tetapi,
ketahuilah, keduanya sungguh bermanfaat bagi setiap diri kemanusiaan. (Lihat
kembali penjelasan sifat Hayyat pada Dua Puluh sifat Tuhan di awal bab
keimanan)
Mengapa iblis membangkang
dan menjadi musuh bagi setiap diri kemanusiaan?
Itulah ketetapan Allah. Dan pada diri
kemanusiaan akan timbul dan bertambah kesempurnaannya dengan adanya iblis yang
membangkang dan menjadi musuh, atau ujian bagi setiap diri kemanusiaan.
Kesempurnaan adalah juga menyerupai kemenangan. Diperlukan suasana
pertandingan (penyaringan) untuk sebuah kemenangan, penonton sebagai suporter
yang membakar semangat dan pelatih sebagai pemberi
petunjuk, serta wasit sebagai hakim yang memiliki hukum pertandingan.
Itulah suasana sportivitas kehidupan dunia sebagai pembentukan insan-insan
berkualitas yang diharapkan Allah sebagai pemilik dan penguasa Hukum yang Maha
Sportif (fair play atau bersih dan adil).
Sebenarnya iblis akan hilang dari
setiap diri kemanusiaan bila jiwa dapat menundukkan dan membuatnya
bersujud, dengan tidak melayani segala bisikkannya dan bila selalu berada di
wilayah yang diterangi cahaya-Nya (lebih dominan pengaruh malaikat-Nya). Allah
menyebut jiwa ini sebagai jiwa yang tenang (nafs al muthma’inah), yang
dapat mengatur atau mengelola hawa nafsu-nya kepada nafsu kebaikan.
Jadi sebenarnya, iblis adalah malaikat juga, dia akan tunduk
patuh dan menjadi cahaya penerang atau petunjuk bagi jiwa, dan dapat pula
membangkang menjadi api yang panas membakar hati, serta bujuk rayunya kepada
api neraka yang menghinakan. Iblis seperti berada dan terbawa dalam aliran
darah, mendorong hawa nafsu amarah maupun hawa nafsu keburukan lainnya,
maka tensi darah pun melonjak naik, jantung berdetak cepat, maka hal tersebut
akan mempengaruhi organ tubuh lainnya tanpa terkendali oleh yang secara halus
Maha Mengendalikan dalam Pemeliharaan-Nya, akibat dari jiwa yang
menjauhi cahaya-Nya. Maka ingatkan-lah terus jiwa dengan selalu menyebut
nama-Nya (dzikr), agar hati menjadi damai, tenang dan tentram.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku
akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 15:39)
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia
(setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi
orang-orang yang tidak beriman.” (QS 7:27)
Betapa banyak jalan dan cara iblis
membisikkan hasutan-hasutannya agar diri (jiwa) terjerumus pada kehinaan.
Iblis adalah sisi gelap, atau bisa disebut juga sisi negatif hati setiap diri
kemanusiaan. Kekuatannya sama dengan malaikat tetapi intensitas pengaruhnya
terhadap manusia amatlah sering disetiap waktu. Pada awalnya iblis adalah ras
malaikat, tetapi setelah pembangkangannya terhadap perintah Allah tidak mau
sujud (tunduk) kepada Adam as, maka Allah menamakannya iblis.
Tidaklah mungkin malaikat dapat melawan apa yang telah
menjadi kehendak Allah, dan menjadi malaikat pembangkang yang disebut iblis,
akan tetapi hal tersebut terjadi memang karena ketetapan-Nya pula.
Ketetapan-Nya yang berupa qudrat-iradat yang dianugerahkan kepada
kemanusiaan, yaitu memberikan dua pilihan jalan kefasikan atau ketakwaan.
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Jadi mereka yang mengambil jalan kefasikan
adalah mereka yang merubah para malaikat yang seharusnya tunduk sujud
sebagai menjaga dan membantu-nya, menjadi malaikat pembangkang yang
malah menyesatkan yang disebut iblis. Terkadang kemanusiaan tanpa sadar
menjadi terhanyut oleh hawa nafs-nya sendiri, sehingga diri-nya sendirilah yang
menciptakan iblis di dalam dadanya dari yang semula sebagai malaikat yang
tunduk patuh membantu kehidupannya. Kelak, jika hal tersebut dibiarkan,
sehingga dirinya hanyut oleh kesesatan, maka akan kembali kepada dirinya
sendiri sebagai bencana yang akan disesalinya.
Pada dasarnya jiwa cenderung kepada hawa nafsunya, dan juga
berketergantungan kepada petunjuk, tetapi bukan berarti semua nafsunya tidak
dapat diatur atau dikelola dengan benar. Ini dapat dianalogikan kepada bibit
penyakit atau bakteri atau virus yang ada didalam tubuh yang dapat dilemahkan
(imune) sehingga tidak membahayakan atau bahkan malah dibuat sebagai fungsi
kekebalan tubuh. Jiwa yang telah kebal atau imune terhadap godaan dan bujuk
rayu iblis, jin, maupun bisikan setan, bahkan malah menundukkan dan menyuruh-nya
untuk bersujud atau tunduk kepada diri-nya, bahkan menjadi sebagai yang
menjaga dan membantu.
“Allah
mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di
belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat (manfaat kebaikan) melainkan kepada
orang yang diridhai Allah, dan mereka
itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS 21:28)
Bila dicermati dan dipahami secara
mendalam, dengan hati bersih dan netral dalam berfikir, sesungguhnya diri-nya
sendirilah yang sebenarnya mewujudkan iblis itu hadir, yaitu hadir
dengan sifat pembangkangan dan kesombongannya yang hendak menjerumuskan diri-nya
kepada kehinaan`. Hadir semakin kuat mencengkeram jiwa kita selalu dalam
pengaruhnya. Bila dirinya tak hendak menundukkan hawa nafsunya, maka iblis-nya
pun akan terus tetap menjadi malaikat pembangkang sebagai yang akan terus
selalu menyesatkan jiwa-nya.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri......” (QS 13:11)
Begitupun dengan merasakan keberadaan
malaikat, bila selalu mengingat Allah dan bertawakal untuk terus berada pada
cahaya-Nya maka terangnya (malaikat) akan semakin kuat mempengaruhi
jiwanya. Jiwa yang secara tak sadar terus menjauhkan diri dari cahaya Tuhannya,
maka justru kegelapannya yang menjadikan dirinya berada dalam kuasa
penyesatan bujuk rayu iblis. Keberadaan hatinya yang gelap tanpa cahaya
Tuhannya, membuat hatinya buta tak lagi dapat melihat kebenaran dari setiap
segala sesuatu.
Sudah pada dasarnya pula setiap diri
kemanusiaan menyukai terang, dan merasa takut di dalam kegelapan karena menjadi
tidak mengetahui apa-apa, hatinya menjadi sempit karena keterbatasan mata
memandang. Tetapi sayangnya jiwa tiada dapat menyadari ini hingga tidak dapat
menerapkannya kedalam memahami akan tempat tujuan mana dia seharusnya
bergantung dan mendapatkan petunjuk, perlindungan, dan pemeliharaan yang baik
dan sempurna.
Bila telah dapat menerima dan memahami hal ini, maka bukan hanya
menerima kebaikan dengan senang hati dan bersyukur, akan tetapi (harus)
mau pula menerima keburukan dengan ikhlas berserah diri hanya
kepada-Nya. Layaknya seperti menyambut dengan tanpa beban akan datangnya
malam yang sepi dan membosankan, setelah siang yang melelahkan
tapi mengasyikkan bagai sebuah permainan. Itulah menyadari kebaikan dan
keburukan sebagai satu hal yang berpasangan, layaknya cahaya dan bayangannya.
Pasti ada sisi gelapnya, selain sisi terangnya.
“Allah
memilih para utusan (rasul) dari malaikat dan manusia.........” (QS 22:75)
Sekarang marilah kita sedikit lebih menajamkan pembahasan
tentang wujud malaikat yang sesungguhnya telah lama hadir dan ikut berperan
terhadap kehidupan kita, di dalam diri kita, di sekeliling kita, serta yang
bukan hanya sesekali hadir tanpa kita sadari sebelumnya, tetapi di setiap
denyut nadi serta tarikan dan helaan nafas sebagai gerak hidup atas perintah
dan kehendak Dia Yang Maha Tunggal. Makna aparat Allah, yaitu para
malaikat-Nya, bisa kita ketahui dari setelah menafsirkan setiap firman-Nya yang
berada di dalam al Qur’an, dan Dia selalu menggunakan kata “Kami” untuk
menunjukkan kekuasaan-Nya yang melalui perintah kepada setiap aparat-Nya
untuk membawa suatu urusan (kehendak) Tuhannya. Marilah kita ambil satu atau dua ayat sebagai contoh dalam penafsiran
tentang aparat Allah,
“...... dan
malaikat dalam naungan awan.........” (QS 2:210)
“Dia-lah
yang meniupkan angin sebagai ‘pembawa’ kabar
gembira, mendahului
kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami
turunkan hujan di daerah
yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah
Kami membangkitkan orang yang telah mati,
mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
Makna ayat tersebut, adalah Dia yang
sesungguhnya memerintah kepada malaikat (wujud angin) yang sebagai
aparat-Nya untuk membawa (suatu perintah dari Dia) kabar gembira berupa
rahmat-Nya (hujan) dalam wujud awan mendung kepada daerah atau wilayah
dimana orang-orangnya telah mengharapkan kedatangan hujan itu. Setelah berada
diatas wilayah tersebut, segala wujud partikel-partikel gas (juga para
malaikat) yang berada disitu mengkondensasikan (suatu perintah dari Dia)
awan mendung tersebut agar mengubahnya menjadi titik-titik air yang memiliki
berat dan jatuh menjadi hujan.
Dan dengan hujan (air) itu, Allah
memerintahkan kepada semua aparat-Nya yang berwujud unsur-unsur pendukung
kehidupan di dalam permukaan bumi untuk menyuburkan (suatu perintah dari
Dia) tanah tersebut agar bermanfaat pula terhadap aparat-Nya yang lain seperti
tumbuh-tumbuhan yang juga sebagai penyampai rahmat Allah kepada seluruh
makhluk-Nya. Dan begitulah seterusnya, serta berulang-ulang, sehingga
rahmat-Nya tersebar merata kepada seluruh makhluk-Nya, yang ternyata adalah
aparat-Nya pula. Itulah qudrat dan iradat (kuasa dan kehendak)-Nya melalui para
aparat (malaikat)-Nya, yang pada akhirnya ternyata seluruh makhluknya adalah
merupakan para aparat-Nya sebagai penyampai rahmat bagi semesta alam, rahmatan
lil ‘aalamiiyn.
Sekarang, kita kembalikan pemahaman
tersebut kepada wujud halus malaikat yang berupa cahaya, sebagai penyampai
petunjuk, perintah, kuasa dan kehendak Allah. Segala sesuatu di alam ini pasti tersentuh
cahaya, karena sebelum Allah menciptakan segala sesuatu, Dia menciptakan cahaya
terlebih dahulu. Begitu pulalah yang dikatakan sains ilmu pengetahuan modern.
Cahaya juga adalah energi. Dan setiap energi dapat berubah bentuk menjadi
bentuk energi lainnya karena interaksinya dengan energi atau materi lainnya,
semisal menjadi energi gerak, energi listrik, energi panas, energi bunyi, dan
lainnya. Maka dengan cahaya itulah segala petunjuk, perintah dan kehendak Allah
disampaikan kepada segala sesuatu atau makhluk-Nya. Kelak pada
ulasan-ulasan pada bab-bab berikutnya dapat menambah lagi pemahaman kita
terhadap wujud nyata malaikat, karena ulasan di belakang akan lebih
terfokus pula keterkaitan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang lebih
logis. Memang begitulah penyajiannya secara bertahap agar tak membosankan.
Segala energi, daya atau
kekuatan yang tak terlihat di dalam alam inilah sesungguhnya yang bekerja dan
tunduk atas perintah serta kehendak Dia, Allahu rabbul ‘aalamiiyn, Tuhan
yang mencipta, menguasai, merahmati dan memelihara semesta alam. Kelak,
penjelasan ulasan mengenai energi, daya atau kekuatan aparat-aparat Allah ini,
yang insya Allah dapat membuka dada kita kepada pemahaman-pemahaman yang mengkokohkan
kembali keimanan kepada-Nya.
Itulah nyatanya malaikat yang sebelumnya kita rasa ghaib tak
terlihat oleh mata, dan nyata hanya berdasarkan keyakinan atau iman belaka.
Mungkin pekerjaannya yang tak terlihat, akan tetapi hasil kerjanya, dan makna
dari rentetan proses kejadian dalam pekerjaannya yang menjadi nyata terasa dan
terlihat sehingga menjadi lebih mudah dalam memahami keberadaannya, apalagi
oleh hati yang telah terbuka. Dan hanya Dia-lah sesungguhnya yang membuka dada
kita. Karena para aparat-Nya sangat menanti-nati tugas yang akan diberikan
kepadanya. Subhanallaah.
“Tiada seorangpun diantara kami (malaikat) melainkan
mempunyai kekdudukan tertentu, dan sesungguhnya kami
benar-benar bersaf-saf (antri bergiliran dalam menunaikan perintah Allah).” (QS 37:64-65)
Para malaikat, aparat-aparat
(malaikat) Allah, diklasifikasikan berdasarkan kelompok tempat tugasnya,
seperti minnallaahu yang berada di dalam kalbu atau hati, mii ‘indillahi
yang berada bersama jasad, min dii’anfusihiim yang berada di luar
jasad, dan tandziilal ‘adziizir-rahiim yang turun dan naik membawa
rahmat Tuhan terbaru. Klasifikasi ini adalah sekedar untuk memudahkan
dalam penguraiannya saja agar lebih terarah dari setiap yang dicoba untuk
dipaparkan demi mencapai pemahaman secara bertahap. Insya Allah.
MALAIKAT
Minallahu
“Dan kamu akan melihat malaikat-malaikat berlingkar
di sekeliling ‘Arsy bertasbih
sambil memuji Tuhannya, dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah
dengan adil.......” (QS 39:75)
Dari Allah (langsung di kalbu)
diperintahkan kepada aparat-Nya, yang wilayah kerjanya di dalam kalbu atau
sanubari manusia yang halus dan lembut. Itulah nyatanya yang di dalam sanubari
selalu bersih dan murni karena diperintahkan langsung oleh yang Maha Halus dan
Lembut, ar Rahman, melalui Jibril yang Qudus, kepada hati dan rasa
manusia yang juga pada dasarnya diciptakan halus dan lembut, serta penuh kasih
sayang. Maka semua perbuatan dipandang baik bila didasari maupun yang keluar
dari sanubari, dan disebutlah sebagai niat yang tulus, murni atau ikhlas
yang keluar dari sanubari yang paling dalam.
“yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat
kuat, yang mempunyai akal yang cerdas,.....” (QS 53:5-6)
“..... Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa
mu’jizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus.....” (QS 2:253)
Begitulah peran malaikat
ini kepada nabi-nabi, seperti nabi Isa AS dan nabi Muhammad SAW sebagai yang diperkuat
olehnya. Kekuatan Jibril inilah yang menjaga segala ucap dan amal perbuatannya
tetap berada pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dari Tuhannya. Begitulah
contoh manusia-manusia yang sempurna. Maka lihatlah dan renungi pula mereka
yang menolak atau mengingkari, seperti yang diterangkan lanjutan
ayat tersebut di atas.
“.... Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah
berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada
mereka beberapa keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang
beriman
dan ada (pula) diantara mereka yang kafir.....” (QS 2:253)
Tentulah mereka yang saling
bertentangan adalah antara mereka yang beriman dan yang kafir. Mereka yang
beriman adalah mereka yang telah membuka hatinya dari petunjuk Tuhannya
yang dibawa malaikat suci penyampai petunjuk. Sedangkan mereka yang
kafir adalah mereka yang menutup hatinya dari petunjuk Allah, yaitu
mereka yang membiarkan hatinya penuh dengan kekotoran hawa nafsu serta
pengakuan (ego)-nya. Sehingga cahaya (malaikat suci) yang membawa petunjuk tak
dapat masuk menembus hati untuk menerangi akal sehatnya kepada nilai-nilai
kebaikan dan kebenaran dari Tuhannya. Keduanya adalah pasangan yang saling
bertentangan, yang merasa kepentingannya akan terganggu.
“(Dia-lah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang memiliki ‘Arsy, Yang mengutus Jibril dengan membawa perintah-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, supaya dia memeperingatkan tentang Hari
Pertemuan.” (QS 40:15)
Tidak hanya kepada nabi-nabi, begitupun dengan merasakan keberadaan
malaikat Jibril pada diri-diri kemanusiaan, yaitu pada diri-diri yang selalu
menjaga kesadarannya, selalu ingat kepada Tuhannya dalam setiap geraknya.
Keberadaan malikat kudus (suci) ini yang berada di dalam kalbu setiap
diri kemanusiaan ini adalah mutlak, hanya saja perannya sangat dipengaruhi oleh
tingkat kebersihan atau kesucian hati masing-masing diri kemanusiaannya.
“yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat
kuat, yang mempunyai akal yang cerdas,.....” (QS 53:5-6)
Bila selalu mengingat Allah dan
bertawakal untuk terus berada pada cahaya-Nya maka terangnya (malaikat)
akan semakin kuat mempengaruhi jiwanya, dan sebagai yang memberi petunjuk pada
setiap gerak amal perbuatannya selalu berada dalam nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran. Jiwa yang secara tak sadar terus menjauhkan diri dari cahaya
Tuhannya, maka justru dia semakin mendekatkan dirinya kepada kesesatan bujuk
rayu iblis.
Akan tetapi, sekalipun kalbu
ini dipenuhi kemurnian, di permukaan luarnya dapat dipenuhi oleh debu-debu
kekotoran, yang membuat niatnya menjadi melenceng akibat hawa-hawa nafs
yang dibisikan setan yang menghasut hendak menjerumuskan, dan mengeluarkannya
menjadi amal perbuatan yang buruk dan tidak murni lagi terkontaminasi oleh hawa
nafsu keinginan serta kebutuhannya yang berlebihan.
“Katakanlah, ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu
dengan kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk
serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS 16:102)
Semakin
pekatnya kekotoran yang menyelimuti permukaan kalbu tersebut, maka
perintah-perintah dari yang Maha Tunggal yang berupa gelombang-gelombang cahaya
(wujud aparat minallahu, malaikat) tidak dapat menembus keluar membawa
kebenaran dari Tuhannya untuk disampaikan kepada setiap aparat-aparat lainnya
yang bertugas menyampaikan pula. Dan terjadilah ketidak harmonisan suatu urusan,
mal function pada sistem penyampaian. Akibatnya adalah, pola hidup yang
salah kaprah dari setiap pola pikir yang salah. Dan ini dapat terus menyebabkan
kesalahan kepada setiap niat dan perbuatan, seperti efek domino.
Kembali kepada yang Tunggal,
yang terasa berada pada sanubari yang paling dalam, adalah cara terbaik untuk
membenahinya, sambil membersihkan yang pekat menyelimuti kalbu atau hati,
menghindari setiap niat serta perbuatan buruk agar tidak menambah pekat lagi
kalbu kita. Krena kepekatannyalah yang akan menutupi kalbunya, sehingga cahaya
kebenaran-Nya tidak dapat menembus keluar mengiringi setiap niat, ucap, perbuatannya.
“Mereka itulah orang-orang yang hati,
pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang
lalai.” (QS 53:6)
Banyak-banyak mengingat-Nya, shalat, dan berpuasa adalah
cara-cara memperbaiki kembali rusaknya sistem komunikasi antara Allah,
malaikat-Nya, serta jiwa kita yang sangat membutuhkan setiap cahaya petunjuk
dari rahmat-Nya. Jangan biarkan karunia agung-Nya menjadi hal yang
sia-sia, apalagi berubah menjadi keburukan akibat disesatkan oleh iblis
dan pengakuan (ego)-nya. Tidaklah setiap jiwa diciptakan kecuali hanya
untuk sebagai perwujudan-Nya di alam, yaitu sebagai khalifah yang saling
menebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama-nya. Itulah fitrah
kemanusiaan-nya.
MALAIKAT
Min Indi‘anfusihiim
“...... dan
malaikat dalam naungan awan.........” (QS 2:210)
“Dia-lah
yang meniupkan angin sebagai ‘pembawa’ kabar gembira, mendahului
kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami
turunkan hujan di daerah
yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah
Kami membangkitkan orang yang telah mati,
mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
Inilah para malaikat yang
wilayah tugas-nya di bumi, yaitu aparat yang dari sisi luar atau di sekitar
diri kemanusiaan. Para aparat Allah yang tak terhingga jumlahnya tersebut,
sesungguhnya berada di mana-mana tak terhitung jumlahnya, dan secara tak
disadari, telah ikut berperan dan mempengaruhi kepada diri kita dalam ucap,
gerak, serta perbuatan setiap diri kemanusiaan bersama segenap makhluk Allah
lainnya.
“Dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, buatlah sarang-sarang di
gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap
buah dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut
lebah tiu, keluar
minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi
orang-orang yang berpikir.” (QS 16:68-69)
Ternyata
tidak hanya pada kenabian di kemanusiaan yang menerima wahyu dari Allah,
melainkan hewan pun dapat menerima wahyu. Bahkan tidak hanya hewan, .... dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang
terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang .... (QS 41:12)
Seperti yang dijelaskan ayat
(QS 16:68-69) di atas, pada wujud-wujudnya yang nyata dan dapat kita lihat dan
rasakan dalam kehidupan sehari-hari dan sangat berperan serta mempengaruhi diri
kita. Dan segala wujud yang secara langsung berinteraksi dengan dengan kita,
seperti anak-istri dan orang tua, harta benda, perhiasan, rumah tinggal,
kendaraan, ladang pekerjaan, sesungguhnya adalah ‘aparat Allah’ yang juga
merupakan sebagai sarana dan fasilitas bagi kemudahan kita yang ternyata
bukanlah milik dan dibawah kuasa serta perintah kita,
melainkan hanyalah anugerah dari Dia yang Maha Pemurah untuk dikelola, layaknya
segala organ-organ yang berada di dalam tubuh atau jasad.
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasulNya dan (dari) berjihad di
jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS 9:24)
Segalanya
yang tersebut pada ayat di atas, jelaslah atas anugerah Allah, akan tetapi
dapat pula menjadi godaan atau ujian bagi yang menerimanya, saat kecintaan
terhadap-nya melebihi kecintaan kepada-Nya. Makna ayat tersebut
adalah, jangan sampai diri terkecoh dari rasa memiliki yang
sesungguhnya ternyata bukanlah milik kita. Sehingga bila semua itu hilang atau
pergi, tidaklah menjadi penyakit bagi hati dan jiwa.
Dengan begitu,
kita sendirilah yang sesungguhnya ikut serta ‘menciptakan’ surga atau
neraka yang juga diperuntukkan bagi kita sendiri di alam masih dalam kehidupan.
Dalam kehidupannya, diri
kemanusiaan, jelas saling berinteraksi dengan sekitarnya, maka bila telah disadari,
bahwa sesungguhnya kita jelas berhadapan dengan ‘para malaikat’ yang selain
sebagai penyampai perintah dan kehendak Allah, juga merupakan saksi
atas amal perbuatan kita. Keluarga, harta kekayaan, pekerjaan, rumah tinggal,
dan kendaraan yang kesemuanya tersebut aadalah anugerah karunia-Nya, adalah
pula aparat (malaikat) Allah yang dapat mempermudah kehidupan diri kita, akan
tetapi dapat pula menjadi musuh kita dan menjadi malaikat pembangkang (iblis)
kita yang menjerumuskan kita kepada kesesatan dan kehinaan melalui godaan dan
bujuk rayunya yang terlihat indah di pandangan.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku
akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
Insya Allah, uraian ini dapat
membuka kesadaran kita, sehingga akan lebih bermakna dalam setiap niat, ucap,
dan perbuatan yang sesungguhnya ternyata diperintahkan oleh Dia yang Maha
Tunggal. Dia yang Maha Suci dari kesalahan dan keburukan. Oleh sebab itu
sucikanlah segala niat, ucap, dan perbuatan karena diri kita adalah milik-Nya.
MALAIKAT Min ‘Indillahi
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah......” (QS 13:11)
Banyak hal yang disadari bahwa
bukan diri kita yang memerintahkan, seperti halnya telinga bersama perangkatnya
yang dapat mendengar, mata bersama
perangkatnya yang dapat melihat, mulut bersama perangkatnya yang dapat berbicara,
kita hanya rasa ingin-nya, yang didasari pengaruh nafs (jiwa). Hanya
Dia-lah yang memerintahkan kepada aparat-Nya agar bekerja sebagai penyampai
perintah dan kehendak Allah. Aparat-aparat inilah yang merupakan malaikat min
‘indillahi yang wilayah kerjanya di dalam tubuh atau jasad manusia,
termasuk organ-organnya.
“....dan Dia memberi kamu
pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS 16:78)
Dan kepada hal yang lebih halus
lagi, dan kita sadari pula bahwa bukan perintah dari diri kita, seperti
perintah kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari tangan dan bertumbuh
panjangnya rambut. Dan juga pada yang tak terlihat nyata oleh mata kita,
perintah kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan
untuk menyebarkan saripati makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru
untuk memisahkan oksigen dari gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan
untuk mengubah suplay makanan tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses
pembakaran saripati makanan. Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel
tubuh yang hidup dan mati kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan
pembentuk organ tubuh, yang menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh
atau jasad diri kita, yang pula kita tidak menyadarinya.
“.... dan
(malaikat) yang mengatur urusan (dunia).” (QS 79:5)
Yang kita
sadari hanya tinggal sakit atau nikmat-nya saja. Bila sakit, maka
bermohon ampun. Dan bila nikmat, bersyukur. Tetapi tidak menyadari peran
keberadaan aparat-aparat Allah atau para malaikat yang berada di dalam
tubuh atau jasad yang telah bekerja atas suatu perintah dari Dia yang Maha
Halus lagi Maha Kuasa yang berada pada kalbu yang paling dalam.
Biasakanlah mengakrabkan
hati dan jiwa-nya dengan mereka para malaikat (aparat Allah) yang telah
berjasa bekerja di dalam jasad dengan menjadikan mereka sebagai sahabat, dan
jangan biarkan jiwa kita sampai tak mengenal mereka yang sesungguhnya telah
mempermudah kehidupan kita selama ini.
“Allah
mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di
belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat (manfaat kebaikan) melainkan kepada
orang yang diridhai Allah, dan mereka
itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS 21:28)
Bila
demikian, maka tentu sekarang kita telah menyadari seikhlasnya, bahwa tubuh
atau jasad adalah bukanlah milik kita. Dan tentu dengan segala perangkat di dalam
dan di permukaan tubuh yaitu organ-organ tubuh, baik jantung, paru-paru,
hati, lambung, dan lainnya yang kelihatan seperti kuku-kuku, rambut-rambut,
hingga kepada kulit. Yang sesungguhnya semua itu adalah milik-Nya atas
kuasa dan perintah-Nya. Justru diri kita sendirilah yang hanya menerima sakit
dan nikmatnya, yaitu neraka dan surganya. Karena itu sucikanlah
dari kekotoran yang menyebabkan penyakit. Penyakit jasad dan jiwa. Kekotoran
yang menyesatkan jiwa dari jalan lurus-Nya sebagai jalan kembali
kepada-Nya, yaitu tujuan sejati dari segala tujuan.
Makna yang
lebih dalam dan menjadi lebih berkembang dari uraian di atas adalah, atas
rahmat Allah-lah timbul pula ilmu kedokteran untuk mengatasi penyakit pada
tubuh, sehingga tercipta kehidupan yang lebih kompleks untuk berkembangnya
struktur-struktur sosial kehidupan lainnya, yaitu profesi pendukungnya, seperti
dokter, perawat, apoteker, farmasi, sampai kepada administrasinya maupun
keuangannya. Begitupun industri-industri pendukungnya yang ikut bertumbuh.
Akan tetapi, bila kita lebih
dalam lagi mengembalikan pemahaman berfikir kepada kuasa dan kehendak Allah,
lebih ekstrim, semua itu tidak perlu, toh, dokternya pun selalu mengatakan
bahwa kesembuhan ada di tangan Allah. Dengan begitu, maka timbullah
pemahaman atau kesadaran ruhani yang religius, bahwa sesungguhnya rasa
sakit adalah suatu pembersihan diri dari dosa-dosa akibat perbuatan
sebelumnya. Jika harus berobat dan mengeluarkan uang demi kesembuhan, maka
itulah pembersihannya. Dan bila memang sembuh, berarti karena ‘uang’
itulah maka dosa harus dibersihkan. Itulah nyatanya keseimbangan atau
keadilan di alam, hisab.
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya
(memohonkan) supaya Dia mengeluarkanmu dari kegelapan kepada cahaya. Dan adalah Dia
Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.” (QS 33:43)
Ternyata diri bersama wujud
kita pun terdiri dari aparat-aparat (malaikat-malaikat) Allah, utusan yang
menjadikan setiap segala sesuatu menjadi manfaat (rahmat-Nya pula), baik yang
di luar jasad maupun yang berada di dalam jasad akan menjadi bermanfaat,
menjadi rahmat yang banyak untuk kepada yang banyak. Itulah rupa
nikmat yang sesungguhnya. Bahkan secara tak disadari, ternyata diri kita pun ikut
berperan sebagai aparat Allah terhadap pihak lain, yang tetap dalam naungan
kehendak Allah. Dan ternyata menjadi bagian dari seluruh aparat-Nya
dalam suatu sistem semesta yang telah menjadi ketetapan (sunathullah)
dalam kehendak-Nya. Sempurna.
MALAIKAT Tandziilal ‘Adziizir-rahiim
Bermakana aparat yang naik
dan turun (bergerak vertikal) untuk suatu urusan yang atas
perintah dan kehendak Allah. Merekalah yang bekerja sebagai penyampai
cahaya-cahaya yang berada di langit agar sampai di bumi. Bintang-bintang,
matahari, dan bulan adalah sumber-sumber cahaya bagi keseimbangan semesta dan
amat dibutuhkan oleh kehidupan di bumi.
“.....Allah
tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar......” [QS 30:8]
Betapa pentingnya urusan itu,
bagi kehidupan di bumi, sampai-sampai para malaikat harus turun naik antara
langit dan bumi, silih berganti setiap saatnya, yang harus ditempuh dengan
kecepatan yang amat tinggi, teramat cepat. Bila cahaya matahari saja yang
paling dekat dengan bumi harus menempuh perjalanan selama 8 menit (asumsi
sains, kecepatan cahaya adalah 300 ribu Km per detik) untuk sampai di permukaan
bumi, tidak bisa dibayangkan bintang-bintang yang jaraknya jutaan kali lipat
dari jarak bumi ke matahari (± 150 juta Km).
“Demi
(malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat)
yang mendahului dengan kencang.” (QS 79:3-4)
“Para
malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam
sehari yang setara dengan lima puluh ribu tahun.” (QS 70:4)
Perkembangan ciptaan-Nya
bertahap, diawali dengan pancaran cahaya-Nya, kemudian menciptakan Alam,
dengan memisahkan bumi dan langit yang sebelumnya satu kesatuan (QS 21:30), dan
membagi langit menjadi tujuh lapisan, dan mengisi langit yang terdekat dengan
bintang-bintang (QS 41:12). Kemudian
pada penciptaan kehidupan di bumi yang sebelumnya mati, gunung-gunung
yang dipancangkan, ditumbuhkan-Nya dengan air segala jenis tumbuh-tumbuhan,
sebagai bumi yang telah dihamparkan. Kemudian diciptakan-Nya pula hewan-hewan.
Sehingga layaklah kemudian untuk kehidupan manusia, dan akhirnya diciptakanlah
manusia setelah semua persyaratan kehidupan manusia telah ada (QS 15:19-20).
Pikirkanlah, betapa teratur dan
terencananya proses penciptaan antara yang satu dengan yang lainnya, penciptaan
alam (tempat), bintang-bintang dan bumi sebagai tempat tumbuhnya
tumbuh-tumbuhan, kemudian hewan-hewan yang membutuhkan tumbuhan untuk
kehidupannya, kemudian hewan-hewan carnivora, barulah kemudian diciptakan-Nya
manusia yang telah tersediakan segala kebutuhan untuk keberlangsungan hidupnya.
Lihat dan pikirkanlah, seluruh ciptaan-Nya, alam yang tumbuh
berkembang, bintang-bintang yang juga tumbuh berkembang, bumi yang tidak lepas
dari pertumbuhan dan perkembangannya, sekalipun kita sebut mereka itu adalah
benda mati ternyata hidup dan berkembang, mengalami perubahan bentuk, tidak
diam, mati ataupun musnah. Mereka tetaplah ada sekalipun pada suatu (waktu yang
telah ditetapkan-Nya) terurai tetapi akan kembali lagi ke bentuk semula, begitu
terus berulang sebagai siklus ketetapan dari-Nya (sunathullah).
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi serta silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil
berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau
ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” [QS 3:190-191]
Dan Dia-lah
yang memerintahkan dalam setiap urusan-Nya kepada para aparat-Nya, termasuk
urusan dari langit ke bumi kepada para Malaikat Tandziilal ‘Adziizir-rahiim.
Yang dalam setiap pekerjaannya melibatkan gelombang cahaya yang
merupakan energi, sebagai unsur dasar penciptaan-nya. Energi cahaya yang
dipancarkan membanjiri bumi baik siang maupun malam adalah energi yang baru
untuk menggantikan energi lama yang telah berubah bentuk karena
pemakaian oleh makhluk-makhluk di bumi. Begitulah rahmat Allah kepada penduduk
bumi disetiap detiknya, tanpa pernah berhenti semenjak diciptakannya semesta
alam sampai saat ini, bahkan hingga akhir zaman.
Sungguh
telah lupa mereka yang mengatakan, bahwa rezeki tidak turun dari langit.
Padahal segala sesuatu yang menunjang kehidupan mereka adalah karena limpahan energi
cahaya yang turun dari langit ke bumi sebagai rahmat-Nya. Paling tidak
adalah hujan yang turun dari langit, dan dengan hujan tersebut Allah tumbuhkan
segala sesuatu yang dibutuhkan mereka. Apa jadinya bumi bila tidak turun hujan?
Apakah uang menjadi berharga?
Wujudnya
dalam bentuk energi cahaya yang sesungguhnya adalah malaikat, yaitu
aparat Allah, yang telah memakmurkan kehidupan di bumi. Cahaya sebagai energi
yang memberi kekuatan, dan cahaya sebagai petunjuk kepada ilmu dan
pengetahuan, yang keduanya adalah merupakan rahmat Allah Yang Maha Pemurah.
Dengan cahaya sebagai energi maka kehidupannya menjadi hidup dan
berkembang semakin menyempurnakan. Dan dengan cahaya sebagai petunjuk kepada
ilmu dan pengetahuan, nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, serta membawa kepada
kemudahan dan keselamatan.
Sifat
wujudnya itulah yang dimanfaatkan manusia dalam bentuk energi sebagai sarana
dan fasilitas bagi kemudahan dalam setiap kehidupannya. Limpahan energi
cahaya, baik siang maupun malam, yang sampai ke bumi adalah sebagai rahmat
selain termasuk kepada makhluk-makhluk lainnya yang demi keperluan manusia.
Limpahan energi-energi yang tiada pernah berhenti tersebutlah, yang
sesungguhnya, menjadikan segala sesuatu dapat terus melangsungkan gerak
kehidupannya.
Juga
dimanfaatkan lebih jauh oleh manusia dengan mengubahnya menjadi energi-energi
yang lain, seperti gelombang elektro magnetik untuk telekomunikasi yang
menggunakan satelit, seperti radio, televisi, telephone, hingga jaringan
internet yang telah dapat mencakup dunia dalam waktu yang sangat singkat.
Perkembangan tekhnologi yang ‘menggunakan’ para malaikat tandziilal
‘adziizir-rahiim ini begitu pesat, sayang tak disadari wujud sesungguh-nya.
Yang dengan menyadari itulah, betapa besar peran-nya (malikat) sebagai
wujud bukti kekuasaan Allah terhadap manusia. Maka, Dia dalam setiap firman-Nya
selalu menggunakan kata Kami yang menyatakan peran aparat-aparat Allah untuk
menjalankan kehendak-Nya.
Itulah
sesungguhnya malaikat, sebagai aparat-aparat yang diperintah Allah untuk
tunduk kepada kemanusiaan, menjaga, membawa petunjuk dan memudahkan. Itu
pulalah yang atas rahmat Allah, yang sesungguhnya dikehendaki Allah agar setiap
diri kemanusiaan pun beriman terhadap keberadaan para malaikat-Nya, bukan malah
menjadikannya pembangkang akibat dari kesesatan jiwanya sendiri.
Menjadi teguh imannya karena
tahu dan mengenal wujud-nya, sifat-nya, dan pekerjaan-nya, yang
selalu tidak lepas mengiringi demi kemudahan kita. Agar kita selalu tidak lepas
dari rasa bersyukur atas setiap nikmat dari rahmat Allah yang tiada
henti-hentinya disetiap mili-detiknya kehidupan. Subhanallahu
walhamdulillahu la ilaha ilallahu akbar, wa laa hawlaa wa laa quwwata illa
billahil alliiyyul azhiim.
Diri yang ber-Kemalaikatan
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah Allah. Kemudian mereka meneguhkan
pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): Janganlah
kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan surga
yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS 41:30)
Tentunya adalah juga manusia
yang telah berketuhanan. Tidaklah sulit mengimani keberadaan malaikat dan
kemudian ikut termasuk menjadi aparat Allah seperti malaikat, bila telah
mengenal Tuhannya. Karena keterkaitan hubungan antara yang mengabdi dan
yang diabdi, yang diperintah dan yang memerintah, serta
yang dipelihara dan yang memelihara. Maka kemudian ternyata telah
dapat mengenali diri-nya sendiri.
Menyadari
keberadaaan dan wujud malaikat yang ternyata telah akrab menyertai kehidupan
manusia dalam setiap pikir, niat, ucap, serta langkah perbuatannya, baik yang
berada di dalam tubuh jasadnya maupun yang di luar dan jauh nun di sana.
Ternyata semua dalam sistem kekuasaan semesta milik Allahu rabbul ‘aalamiyin.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah......” (QS 13:11)
Ya, Allah yang sesungguhnya
memerintah, menguasai, melindungi, serta memelihara segala sesuatu, termasuk
diri dan jasadnya, melalui para malaikat-Nya sebagai penyampai setiap perintah
dan kehendak-Nya kepada setiap organ tubuh kemanusiaan-nya, sebagai satu
kesatuan sistem komunikasi individu untuk berinteraksi dengan inter
individu lainnya dalam komunitas yang
lebih global lagi. Sistem Semesta milik yang Maha Tunggal.
Kecenderungan diri kemanusiaan
adalah pada hawa nafs-nya yang lebih banyak membawanya terjerumus pada
kekotoran dan kehinaan, dan pada dasarnya pula diri-nya telah dianugerahi
keilahian (ketuhanan), sebagai hawa illahi, yang disertai para
aparat-Nya (malaikat) sebagai penyeimbang ambisi dari hawa
nafs-nya, agar setiap amal perbuatannya terjaga pada jalan lurus, yaitu
jalan yang menuju keselamatan dan kenikmatan sejati.
Mengambil makna dari kisah
penciptaan Adam As, yang terjerumus oleh bujuk rayu iblis yang menyesatkan
sehingga menimbulkan penyesalan pada diri-nya. Padahal sesungguhnya iblis tidak
akan ada bila telah ditundukkan (bersujud) seperti malaikat
bersujud, yang merupakan asal ras-nya, tunduk dan bersujud.
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah
kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali
iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS 2:34)
Akan tetapi
karena timbulnya pengakuan (ego) yang mendominasi jiwa, maka iblis pun
akan hadir, karena dia menyukai sifat sombong tersebut. Disaat itulah iblis
lebih mendapat kemudahan dalam usahanya untuk menjerumuskan setiap diri
kemanusiaan. Dengan demikian, sesungguhnya, dirinya sendirilah yang menciptakan
iblis-nya. Tetaplah menjaga malaikat agar tetap sebagai malaikat yang menjaga,
membantu dan menunjukkan diri kita seperti kehendak-Nya, jangan biarkan mereka
berubah menjadi malaikat pembangkang yang disebut iblis (QS
2:34), yang justru sifatnya yang ingin menjerumuskan diri kemanusiaan kepada
kesesatan dan kehinaan.
Dan Allah pun, sesungguhnya
pula, telah menunjuki kepada kemanusiaan cara jitu agar iblis tunduk pada diri
kemanusiaan. Yaitu, keikhlasan
dalam setiap gerak amal perbuatan yang semata karena dan kepada Allah.
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Berangkat dari pemahaman
itulah, manusia yang telah berada di dalam ‘istana sadar’, memahami
bahwa sesungguhnya dirinya hampa, bagaikan hanya setitik pasir diantara
pasir-pasir yang terdapat di gurun sahara, yang dapat saja hilang terbang
terbawa angin. Diri yang telah hilang aku-nya (ego) dan lebih menghidupkan
Aku-nya (Allah) di dalam hatinya serta mengeluarkannya kepada segala
bentuk amal perbuatan yang terpuji.
Dirinya yang telah menyadari,
bahwa dirinya tak memeiliki peran sedikitpun atas apa-apa yang terjadi pada
diri dan jasadnya, juga terhadap apa yang terjadi di luar dirinya. Segala
sesuatunya adalah berkat peran para aparat (malaikat) Allah yang bekerja
dibawah kehendak dan kuasa-Nya. Sedikit saja, bila dirinya merasa memiliki
peran atas apa yang terjadi, maka bersiaplah menanggung konsekuensi atas hawa
nafsu dan pengakuan (ego)-nya tersebut. Kepada orangtua yang merasa memiliki
anak-anak yang amat dicintainya, maka rasakanlah ketika anaknya mulai menjadi
pembantah. Kepada yang merasa memiliki harta yang amat dicintainya, maka
rasakanlah ketika harta itu pergi dan hilang darinya. Juga yang merasa memiliki
jabatan yang membanggakan, maka rasakanlah ketika jabatan tersebut lepas atau
telah habis masanya.
Seperti seorang yang telah
bekerja keras siang dan malam demi keluarga, tiba-tiba merasa kecewa
setelah mengetahui anaknya ternyata kecanduan narkoba. Itulah konsekuensi yang
harus ditanggungnya, karena sibuk dengan bekerja keras maka menjadi lupa pada
hal-hal penting lainnya. Dirinya telah disesatkan pandangan indah iblis
akan kebutuhan kehidupan dunia, sehingga menjadi terhalanglah
pandangan-pandangan lainnya yang juga sebagai yang tak bisa dilalaikan. Karena
merasa perannya dibutuhkan untuk lebih keras lagi dalam bekerja supaya
kebutuhan-kebutuhan materi keluarganya dapat terpenuhi, dengan demikian, maka
diharapkannya-lah agar keluarganya dapat memahami dan membantu meringankan
urusan-urusan lainnya selain mencari nafkah, atau menyerahkan kepada istrinya
sendirian dalam hal urusan pendidikan anak-anaknya.
Segala sesuatu, untuk
mendapatkan hasil yang besar, tentu memerlukan pengorbanan yang
besar pula. Begitulah keseimbangan yang telah ditetapkan Allah sebagai hukum
mutlak yang berlaku di alam. “..... dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9). Dan berlebihan dari keseimbangan yang telah ditetapkan-Nya pun
dapat merupakan ancaman yang kelak akan menyulikan dirinya sendiri.
Keseimbangan
atau keadilan harus tegak di alam ini, agar tidak kembali sebagai yang
merugikan dirinya sendiri. Dan menjadilah diri-diri yang terpuji (muhammad)
di alam, sebagai perwujudan dari Dia Yang Maha Terpuji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar