Tuhan pun memahami yang menjadi permasalahan setiap diri manusia adalah menginginkan apa-apa yang ternyata tak layak bagi dirinya sendiri..........
Jumat, 31 Mei 2013
CAHAYA: MU'MIIYN
CAHAYA: MU'MIIYN: Bab VII D IRI yang b er -K EIMANAN (MUKMIN) “Katakanlah , kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (...
MU'MIIYN
Bab VII
DIRI yang ber-KEIMANAN
(MUKMIN)
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan
(dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan
anak cucunya, dan kepada
apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun
diantara mereka, dan kami berserah diri (isalam) kepada-Nya.”
(QS 2:136)
B
|
er-keimanan mengandung makna luas,
tidak hanya selain sebagai yang percaya kepada yang diimani, yaitu Allah
yang Tunggal sebagai sumber dan pencipta segala sesuatu, termasuk
malaikat-malaikat yang sebagai aparat-Nya, rasul-rasul sebagai utusan-Nya,
kitab-kitab sebagai petunjuk-Nya, dan hari akhir serta kadar baik dan buruk
sebagai dua hal yang akan datang menemui untuk dihadapi dan diterima. Tidak
hanya sekedar dipercaya, melainkan pula harus selalu menyertai niat, pikir,
ucap, serta gerak dalam setiap amal perbuatan insan kemanusiaan, agar mencapai keselamatan
pada saat menemui dua hal yang pasti akan hadir datang menemuinya, yaitu hari
akhir dan kadar baik-buruk.
Hari akhir tidak hanya dipandang
sebagai akhir atau kematian, dan kemudian tidak ada lagi kehidupan, melainkan
berlanjut dengan hari kemudian dimana segala amal perbuatan sebelumnya
akan dipertanggung jawabkan berikut dengan balasan sebagai buah hasil
menanam di masa kehidupan sebelumnya. Keadilan-Nya ada dalam naungan ketetapan-Nya,
sunathullah. Kekuasaan-Nya yang Maha bijaksana berada dalam kemurahan
dan kasih sayang-Nya, rahmaanur-rahiiym. Tentu itu di
alam, sehingga akbar, maka tak terhitung ketetapan-Nya,
kemurahan-Nya, dan kasih sayang-Nya.
Kokohnya keimanan akan
memantapkan setiap niat serta langkahnya kepada tujuannya. Menjaga dari
kesalahan, perbuatan buruk, dan tersesatnya jiwa, maka kemudian Tuhannya akan
selalu menunjukinya kepada keselamatan yang berupa nikmat-nikmat yang akan
selalu menyertai dirinya, baik itu nikmat-nikmat kehidupan di dunia maupun
nikmat-nikmat kehidupan di akhirat.
Dan yang perlu digaris bawahi,
adalah dua tanda insan kemanusiaan yang telah kokoh keimanannya, yaitu, yang
pertama, telah mengenal diri maka secara otomatis pula telah yakin
dan mengenal Tuhan-nya beserta aparat-aparat, yaitu malaikat dan
kerasulannya, yang sebelumnya gaib tidak diketahui secara nyata, kitab-kitab,
hari kemudian, serta kadar baik-buruknya. Dan yang kedua, adalah telah
hilangnya pengakuan dan secara otomatis menjadi mengakui.
Keduanya ini berkaitan sangat erat dalam perbaikan jiwa yang pada akhirnya
menciptakan akhlak yang terpuji yang keluar dari perwujudan Yang Maha Terpuji
(muhammad).
Segala amal perbuatan (ibadah),
di dalamnya berupa niat, pikir, ucap, dengar, serta gerak-gerak lain sebagai
gerak yang disadari. Didasari dan serta disertai oleh Tuhannya, beserta aparat
dan rasul-Nya, juga hari akhir dan kadar baik-buruk, sebagai yang manunggal
dengan keimanan-nya, tentu akan menjaga diri (nafs)-nya dalam ketenangan yang
dapat terkendali dan tidak tersesat, serta menciptakan hidup kehidupan yang
sehat, bahkan menuju pada keselamatan kehidupan di dunia dan di akhirat,
sebagai jalan lurus-Nya karena telah kokohnya keimanan.
Keimanan yang telah kokoh
adalah juga merupakan pondasi yang mendasari jiwa setiap insan kemanusiaan
dalam mengarungi hidup kehidupan ini dengan kemuliaan akhlak-nya menuju
kepada keselamatan yang sejati. Yaitu selamat di dunia dan di akhirat. Dengan
kokohnya keimanan pula, maka pintu-pintu yang sebelumnya tertutup, kini akan
terbuka satu per satu sebagai rahmat petunjuk dari Tuhannya. Pintu-pintu
apa sajakah itu?
Kelak,
dengan izin serta kehendak Allah, akan terbuka sebagai pemahaman yang merupakan
anugerah rahmat petunjuk dari-Nya melalui uraian-uraian selanjutnya.
Hilangnya Pengakuan (Ego)
Pengakuan, maksudnya yaitu, mengaku-ngaku apapun yang
sesungguhnya adalah bukan miliknya, sekalipun yang telah dianugerahkan
kepadanya. Anugerah itu hanya merupakan titipan atau amanah
yang masih perlu dipertanggung jawabkan pengelolaannya, kelak. Pengakuan, yaitu
aku (ego) yang menjadi lebih dominan daripada Aku (Allah) sebagai
Tuhan pemilik dan penguasa apa-apa yang berada di langit dan di bumi serta yang
berada diantara keduanya (Allahu
rabbul ‘aalamiiyn).
Iman, dengan
iman-lah setiap jiwa menjadi memiliki kekuatan-kekuatannya untuk mencapai
apa-apa yang ditujunya akan diraih sesuai niat diawalnya. Iman itu pulalah yang
menemani dan menjaganya dari setiap godaan atau bujukan yang dapat
menyesatkannya dan menyebabkan tidak sampai kepada tujuannya.
Dengan imannya, dirinya
berharap mendapatkan perlindungan dari Tuhannya agar terlepas atau terhindar
dari kesulitan dalam setiap amal perbuatan yang sesungguhnya pula selalu
dibayang-bayangi oleh bujuk rayu dan godaan yang dapat menjerumuskan. Jadi, dalam amal perbuatan yang terpuji
sekalipun, diperingatkan kepada dirinya untuk berlindung kepada Tuhannya dahulu
agar tidak tersesat. Karena kesesatan yang dikemas iblis dengan
keindahan penampakan yang dibayangkan diri (nafs)-nya, akan membawanya
terjerumus.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh
alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim)”. (QS 6:162-163)
Ibadah
shalat, sebagai ibadah yang lima kali dalam sehari, dimana harus suci jasad,
pakaian, dan tempat-nya, yaitu selain suci dari najis kekotoran
yang lahir (nyata terlihat), maka harus pula suci dari najis kekotoran yang bathin,
yaitu pengakuan yang
mengaku-ngaku sebagai pemilik jasad, pakaian, dan tempat. Itulah syarat
sah-nya shalat.
Jasadnya
yang diakui adalah sebagai milik-nya, pakaian pun diakui sebagai milik-nya
yang telah dibeli dengan usahanya, serta tempat atau rumah pun diakui sebagai milik-nya
yang dibeli dari hasil menabungnya selama bertahun-tahun. Sekalipun dia
menyadari bahwa semua itu dia dapatkan dari rizki yang dianugerahkan Allah
kepadanya, tetapi diakui kepemilikannya olehnya, sehingga apabila satu saja
diantaranya hilang darinya maka diri atau jiwanya tidak dapat mengikhlaskannya.
Dan tidaklah sah shalatnya bila unsur pengakuan tersebut menajiskan jasad,
pakaian, dan tempat dalam shalatnya. Padahal, semua anugerah
kepadanya itu merupakan titipan atau amanah yang harus
dipertanggung jawabkannya kelak di hari akhir.
Itulah bahayanya pengakuan
(ego) terhadap apa-apa yang sesungguhnya hanyalah titipan atau amanah yang
dianugerahkan kepadanya untuk dikelola dengan baik dan benar, serta tidak untuk
diakui kepemilikannya. Bahkan kepada jasad, jiwa, serta ruh yang ternyata milik
Allah, tidak untuk diakui sebagai miliknya sendiri. Apalagi kepada harta benda,
perhiasan, kendaraan, anak-istri, ladang pekerjaan, perniagaan, kekuasaan, dan
lain sebagainya yang dianugerahkan kepadanya.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka
hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Tersesatnya
jiwa pada setiap pengakuan tersebut diatas, akan menjadi nyata kelak, saat maut
memisahkan antara jiwa-nya dan ruh-Nya dari jasad-nya. Jasad-nya
terkubur dan hancur terurai kembali kepada asalnya yang dari tanah, dan ruh-Nya
akan kembali pulang kepada Dia sebagai pemilik asal-nya, sedangkan bagi jiwa,
yang sebelumnya tersesat, maka dia tersesat pula akibat masih penasarannya
terhadap penyesatan iblis yang ternyata telah menipunya, tidak mau dan tidak
rela meninggalkan apa-apa yang diakui sebagai miliknya, menjadi jiwa penasaran,
gentayangan di tempat-tempat yang dahulu diakui sebagai miliknya. Di rumah
tinggal-nya, di mobil atau kendaraan-nya, di tempat-nya bekerja, di
pakaian-nya, atau mungkin pula di tempat-tempat yang dulu sering disinggahinya.
Dalam
kisahnya, Adam As, yang telah dianugerahi kekuasaan atau kekhalifahan
bahkan hingga kepada seluruh keturunannya. Dimana anugerah tersebut adalah
sebagai kadar baik, akan tetapi tetap pula dibayangi dengan kelalaian
berupa pengakuan yang juga merupakan keangkuhan sehingga lalai dari
peringatan Tuhannya agar tidak mendekati pohon terlarang, yang menjerumuskannya
keluar dari surga sebagai kadar buruk-nya. Dan Allah pun Maha Adil, maka
diberikan-Nya kunci tobat sebagai pembersih-nya. Dibalik
kesalahan ada kebenaran.
Bagaimana
tahu kebenaran, bila tidak pernah bertemu kesalahan. Itulah
pelajaran bagi orang-orang sesudahnya, termasuk kita keturunannya. Kepada
anak-anak, remaja, maupun yang muda, adalah kebaikan bila diri-nya
mengalami kesalahan sebagai pembelajaran di kehidupan masa yang akan
datang yang lebih bertanggung jawab. Akan menjadi lain halnya, bagi mereka yang
telah dikaruniai anugerah beserta pertanggung jawabannya sebagai amanah, tetapi
masih saja lalai seperti di masa kanak-kanaknya. Kelalaian yang terus terbawa
hingga masa tuanya sebagai sifat bawaan.
Manusia yang hanyut terbawa larut pada kehidupan dunia ini, adalah
seperti anak-anak yang gemar bermain dan asyik dalam permainannya sehingga lupa
akan kewajibannya seperti yang diinginkan orang tuanya untuk belajar
atau mengerjakan PR sekolahnya, demi kehidupannya kelak di masa depan. Ia tak
menyadari, keasyikannya dalam permainannya, telah menyia-nyiakan waktu
belajarnya. Permainannya telah membuat lupa diri akan kewajiban-kewajibannya
yang lebih utama daripada sebuah kesenangan palsu yang telah membuang waktunya.
Di masa kanak-kanak ia telah menyia-nyiakan waktu, dan saat dewasapun ia dapat
terlena oleh kehidupan dunia yang menghanyutkan. Inilah yang membuat manusia
sungguh dalam kerugian.
“Demi masa (waktu). Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk
kebenaran
dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS 103:1-3)
Kebaikan dan
keburukan adalah pasangan yang harus diterima bagi mereka sebagai pertanggung
jawaban, dan sebagai hasil yang dituai dari apa yang ditanam sebelumnya, serta
bagi mereka yang hendak mengkokohkan keimanan-nya kembali, demi suatu tujuan
dari apa-apa yang telah diyakininya. Toh, sekuat apapun diri-nya, takkan dapat
menolak hal tersebut yang sudah merupakan kodrat atau kehendak Dia sebagai Yang
Maha Pencipta dan Maha Pemelihara. Segala sesuatu, tiada yang lepas dari kuasa
dan pemeliharaan-Nya, sekecil dan sebesar apapun itu.
Bukan Dia
tidak mengetahui akan terjadi kelalaian pada diri Adam, dan bukan pula Dia
kejam mengeluarkan Adam dari surga, akan tetapi memang adalah
ketetapan-Nya. Bahwa seperti itulah fitrah kemanusiaan, dibayangi kelalaian,
dan merupakan ketetapan-Nya jugalah kehidupan kemanusiaan adalah di bumi
sebagai sarana perwujudan segala sifat-Nya di alam.
Bagi
jiwa-jiwa yang tenang terkendali manunggal bersama kehendak Tuhannya, yaitu
yang tidak tersesat, maka dia akan manunggal pula dengan ruh-Nya untuk
kembali pulang kepada Dia yang sebagai pemilik asalnya di tempat tunggal-Nya.
Jiwa seperti inilah yang mengakui bahwa Dia-lah sesungguhnya pemilik segala
sesuatu, termasuk apa-apa yang dianugerahkan kepadanya yang sesungguhnya
hanyalah titipan atau amanah dari-Nya untuk dikelolanya dengan baik dan benar
sesuai dengan kehendak-Nya.
Berbahagialah dia yang telah
berada dalam istana sadar yang dipenuhi cahaya petunjuk yang
menghindarkan jiwanya dari pengakuan (kesombongan ego) yang merupakan
penyesatan bujuk rayu iblis. Kesadaran yang dilandasi oleh keimanan yang
semakin kokoh menguatkan jiwanya, membentengi dada-nya melalui aparat-aparat
sebagai yang diutus-Nya untuk selalu berada disekitar dan menjaga dada
kemanusiaan dari bisikan, godaan, serta bujuk rayu iblis dengan berbagai macam
tipuan yang menggoda dan menjerumuskan keimanan setiap diri kemanusiaan kepada
kesesatan.
Hidup dengan Sehat yang Abadi
Menjaga, memelihara, serta
selalu mengokohkan keimanannya agar tidak terjerumus kepada kehidupan yang sia-sia,
dengan menjalani hidup dengan sehat yang dianugerahkan kepadanya sebagai
titipan yang merupakan amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
Renungkanlah, bila pola hidup
sesat akibat jiwa yang tersesat, tentu akan membuat rusak pula jasad ini.
Akibatnya, jelas akan mengganggu kesehatan-nya sendiri. Kesehatan adalah
anugerahnya yang sungguh mahal dan bernilai tinggi, akan tetapi tidak terasa
bila jasad ini sedang sehat.
Maka, rasakanlah ketika jasad
ini sedang merasakan sakit, segala kenikmatan yang dirasakannya ketika sehat,
tidak akan terasa nikmat. Segala petunjuk yang datang, tidak akan
menjadi hikmah yang berguna, karena pikirannya sibuk dengan rasa
sakitnya. Dan waktu telah terbuang selama sakitnya, begitupula biaya
yang terbuang untuk berobat.
Keinginan dan kebutuhan akan
materi dunia telah menyesatkan kebanyakan insan kemanusiaan dari menjaga
kemurnian atau keikhlasan dalam setiap amal perbuatan yang
seharusnya didasari keimanan yang murni terhadap Tuhan-nya, tidak
disadari peran malaikat-Nya, peran rasul-Nya, dan tidak ingat
petunjuk di kitab-Nya, serta tidak memandang jauh ke depan yaitu kepada hari
akhir dan kadar baik-buruk. Sehingga amal perbuatannya hanya demi
memenuhi kesenangannya belaka, tidak lagi perduli pada keselamatan di hari
kemudian yang ditentukan oleh amal perbuatan saat ini.
Itulah
pola kehidupan kebanyakan insan kemanusiaan saat-saat terakhir ini, petani
tidak mau kotor, pedagang ingin untung besar, karyawan ingin upah besar tanpa
perduli tanggung jawabnya pada perusahaannya, serta para pamong atau penguasa
berusaha menumpuk harta tidak perduli pada rakyat yang diwakilinya. Dari
struktur yang paling bawah hingga yang paling atas telah tidak lagi perduli
pada kemurnian pengabdian. Hidup adalah pengabdian
(ibadah). Dan sebaik-baiknya pengabdian adalah yang murni ikhlasnya.
“.... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada
sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Bila
diselami secara mendalam, ternyata segala sesuatu ada pada rasa,
rasa-lah yang membuat segala sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan
senang, manis dan pahit, kaya dan miskin, semua rasa-lah yang mempengaruhi
nilainya. Dan semua rasa ada dan berdiam di hati atau kalbu. Begitu pula kejernihan
dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi penilaian rasa,
semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs keburukan maka
penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi jelas dalam menyikapinya.
Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas, seperti menerima datangnya
malam setelah siang, karena bersama keburukan akan datang kebaikan sebagai
suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan, seperti bayangan yang
selalu ada di belakang cahaya.
“sesungguhnya
bersama kesulitan ada kemudahan”. (QS 94:6)
Hati yang tenang dan mudah
dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa dan jasad (raga).
Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh kekotoran hawa nafs
keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak jasad dengan penyakit.
Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan (kesombongan ego) akan membawa
jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs al mutma’innah yang
terkendali.
Marilah kita, sebagai insan
kemanusiaan, kembali mengokohkan keimanan serta memperbaiki masing-masing jiwa
kita, yang dimulai dari diri sendiri. Dengan menyadari dan memahami betapa
pentingnya pengokohan keimanan ini pada masing-masing setiap insan kemanusiaan
demi keselamatan hidup di dunia dan kelak di hari kemudian. Sehingga, apabila
masing-masing diri telah berusaha memperkokoh keimanannya, maka telah pula
menciptakan kehidupan yang sehat secara bersama dan meluas hingga tercipta
pulalah hidup bernegara yang sehat, baik dari struktur yang
paling bawah sampai yang paling atas. Maka persoalan krisis moral kebangsaan
yang saat ini telah diambang titik nadir, akan sedikit demi sedikit mengalami
perbaikan dengan sendirinya, yang dimulai dari setiap individu warganegara.
Paling tidak, demi anak cucu keturunan kita sebagai generasi penerus di masa kemudian.
Dengan begitu, kita secara
bersama-sama, telah ikut menekan ongkos hidup dan kehidupan menjadi murah
secara nasional, karena tertekannya angka korupsi, kolusi, nepotisme, pungli
(pungutan liar), maupun premanisme yang telah membantu melonjakkan biaya hidup
secara menyeluruh, dan menular hingga ke daerah-daerah terpencil.
Reformasi yang pernah terjadi
hanya menyentuh bidang politik yang ternyata malah memboroskan biaya, dan tidak
sanggup memperbaiki keadaan pola hidup bernegara bahkan tidak dirasakan masyarakat
kelas bawah. Bukan malah memperbaiki keadaan, justru keadaan semakin parah.
Korupsi semakin gila-gilaan, suap sana suap sini, saling sikut, bahkan
penegakan hukum dapat diperjual-belikan. Karena sesungguhnya, yang dibutuhkan
negri ini adalah reformasi moral individu per individu secara
menyeluruh pada setiap warganegara. Yaitu mereformasi moral pada setiap jiwa
(nafs) yang cenderung tersesat, yang menyebabkan jiwa masyarakat kita semakin
tersesat jauh kepada kehidupan materialistis duniawi.
Adalah hal yang membingungkan,
bagaimana biaya hidup kehidupan ini menjadi begitu mahal. Bisa saja ini dibolak-balik
mana yang lebih dahulu menyebabkan mahalnya biaya hidup kehidupan. Seperti,
untuk membeli bbm (bahan bakar
minyak) yang semakin mahal, maka tukang ojek, bis kota, dan angkutan umum
lainnya pun ikut menaikkan tarifnya. Atau harga-harga kebutuhan rumah tangga
yang selalu naik. Maka masyarakat umum kebanyakan pun terpaksa mencari tambahan
untuk menutupi biaya tersebut.
Tergiringlah semua kepada hidup
kehidupan yang salah kaprah. Seperti oknum pegawai, pegawai negri
ataupun departemen-departemen, dan pegawai swasta yang mensahkan
pungutan-pungutan terselubung, sampai korupsi yang juga melibatkan para
petinggi negara dan para wakil rakyat, sehingga akhirnya meluas pula kepada
buruh swasta, pekerja profesional, pekerja mandiri, bahkan para pengangguran
yang bekerja serabutan, dan semakin diperparah dengan maraknya premanisme yang
semakin berkembang menjamur dan meresahkan serta membuat biaya kehidupan menjadi
tinggi semakin tak terjangkau, karena terus naik tak pernah terpuaskan. Yang akhirnya balik kembali
kepada diri masing-masing individu sebagai keluhan-keluhan, yang sesungguhnya,
ternyata diri-diri kita sendirilah yang menyebabkan semua itu terjadi.
Padahal yang dikejar bukanlah uang-nya,
melainkan cukupnya kebutuhan, yang ternyata tiada pernah tercukupi.
Kebutuhannya terus berkembang tak pernah terpuaskan, selalu menginginkan lebih
dari sebelumnya. Inilah akar
masalahnya. Itulah makanya perlu kembali setiap individu menyadari pentingnya
merevolusi jiwa-nya dengan kembali mengkokohkan keimanan-nya.
Usaha untuk mengingatkan akan
bahayanya memuaskan kebutuhan dan keinginan pun bukanlah tak ada, malah selama
sebulan dalam setiap tahunnya, diri-diri kemanusiaan sebenarnya telah dilatih,
tetapi hasilnya seakan tak ada. Dengan berpuasa di bulan Ramadhan sebagai
kewajiban orang yang beriman, sebenarnya adalah sebuah usaha untuk melatih jiwa
agar dapat mengendalikan hawa nafsunya.
Tapi lihat dan sadarilah dengan
jujur, sesungguhnya sama sekali tak mempengaruhi kejiwaan kita dalam mengekang
hawa nafsu. Bukan hanya tidak menghasilkan seperti yang diinginkan dari setelah
sebulan selama latihan dan penggodokan tersebut, bahkan dalam sebulan itu malah
membuat gaya hidup berbelanja kita semakin berlebihan. Malah lebih besar dari
bulan-bulan lainnya. Bahkan tak jarang yang menghabiskan tabungan yang
dikumpulkan selama sebelas bulan bekerja, dihabiskan untuk keperluan satu bulan
itu. Ramadhan sebagai bulan puasa menjadi hilang maknanya, dan lebih
mengesankan sebagai bulan belanja umat muslim.
Apakah itu yang disebut dengan
suasana latihan? Apakah setelah Ramadhan, saat lebaran atau hari raya Idul
Fitri, kita pantas merayakan kemenangan? Kemenangan dari apa? Telah
dapat mengekang dan mengalahkan hawa nafsu?
Lihat pula, betapa keadaan dan
kondisi tersebut semakin lama semakin menjadi trend gaya hidup se-nasional,
malah. Acara-acara di teve pun menjadi 24 jam non stop menghadirkan suasana
perayaan, iklan-iklan produk berebut untuk sampai kepada pangsa terbesar yang
justru sedang dilatih mengendalikan hawa nafsunya, bahkan berani mengobral
hadiah-hadiah jutaan setiap harinya melalui kuis-kuisnya. Maka sadarilah, siapa
sesungguhnya yang menciptakan iblis penggoda yang telah membuat kita
terpeleset kepada kesesatan tersebut? Siapakah yang menyesatkan dan siapa yang
tersesatkan? Tentulah diri-diri kita sendiri-lah yang bertanggung jawab atas
semua itu.
Sungguh ironis, parahnya
keadaan ini telah seperti benang kusut yang sangat sulit untuk mengurai
dan memperbaikinya, selain mengembalikan kepada Tuhan yang Maha Tunggal dan
Maha Kuasa, serta mengembalikan kesadaran setiap individu untuk pula dapat
kembali memperbaiki kehidupan jiwa yang sehat, sebagai jiwa yang dapat menerima
secara aklamasi, serentak, dan ikhlas untuk bersama-sama memperbaiki hidup
kehidupan bersama yang sehat dan murah.
Menyadari
bahwa apa yang terjadi hari ini adalah akibat dari perbuatan hari-hari
sebelumnya, dan apa yang terjadi hari ini sungguh amat menentukan hari-hari
kemudiannya, maka seharusnya telah cukup sebagai modal untuk mengkokohkan
keimanan-nya kembali, demi memperbaiki keadaan ke depan sebagai yang kita
wariskan kepada segenap keturunan kita. Melupakan segala kekelaman sebelumnya
dan mengarahkan ke tujuan di depan yang lebih baik dan dapat dipertanggung
jawabkan, kelak.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan
barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan
melihat (balasan)-nya.” (QS 99:7-8)
Menikmati hidup yang sehat
dengan bersyukur, yaitu dengan menghargai nikmat hidup dan anugerah
sehat yang telah diberikan kepada-nya, adalah merupakan wujud pertanggung
jawabannya dengan amal perbuatan yang menjadi rahmat pula bagi sesama di
sekitarnya. Sebagai memurnikan tujuan amal perbuatannya, yaitu memulangkannya
kembali segala nikmat dan anugerah kepada Dia yang sesungguhnya adalah
pemilik segala sesuatu.
Hidup
dan kehidupan yang sehat akan mudah membawa setiap insan kemanusiaan untuk
menerima segala petunjuk dan hikmah kebijaksanaan yang mengarahkannya kepada
keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa
yang kuat. Dan tubuh yang sehat adalah karena pola hidup yang sehat.
Sementara pola hidup sehat ditentukan oleh jiwa yang sehat berdasarkan aturan
atau jalan hidup (agama) yang lurus, diynul qayyimah. Saling berketerkaitan
satu sama lainnya, tak perlu mencari yang mana lebih dulu untuk memulainya.
Mulai saja sekarang salah satunya, ataupun sekaligus keduanya, karena keduanya
sangat berkaitan dan menentukan satu sama lainnya.
Label:
moch,
ndozsantosa
Lokasi:
Jakarta, Indonesia
The Trilogy 40
Label:
moch,
ndozsantosa
Lokasi:
Jakarta, Indonesia
The Trilogy17
Label:
moch,
ndozsantosa
Lokasi:
Jakarta, Indonesia
PUPUH ISLAM
Label:
moch,
ndozsantosa
Lokasi:
Jakarta, Indonesia
Kamis, 30 Mei 2013
CAHAYA: MEYAKINI NASIB (TAKDIR) BAIK & BURUK
CAHAYA: MEYAKINI NASIB (TAKDIR) BAIK & BURUK: Bab VI MEYAKINI KADAR BAIK dan BURUK “Dan masa ( kebaikan dan keburukan ) itu , Kami pergilirkan di antara manusia (agar ...
Bab VI - MEYAKINI NASIB (TAKDIR) BAIK & BURUK
Bab VI
MEYAKINI
KADAR BAIK dan BURUK
“Dan
masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan yang kafir).......”
(QS 3:140)
M
|
engimani Kebaikan dan Keburukan adalah syarat mutlak bagi
orang-orang yang beriman, dan pada pelaksanaan kehidupannya, bukan hanya
sekedar beriman dan mempercayainya saja, melainkan dapat menerima-nya
dengan tulus murni (ikhlas) sebagai bagian dari kehidupannya. Keimanan ini
adalah keimanan dengan berprasangka baik kepada Allah, yang sesungguhnya hanya
memberi nikmat dari rahmat kebaikan sebagai rahmat tunggal-Nya. Bukanlah rahmat
yang buruk, kemanusiaanlah yang menilainya menjadi berpasangan. Bila tak sesuai
atau berlawanan dengan keinginan dan harapannya, maka disebutlah sebagai keburukan.
Kadar baik
dan buruk adalah merupakan suatu ketetapan Allah (sunathullah), yang
memang selalu ada dan selalu menyertai setiap segala sesuatu yang merupakan
ciptaan atau makhluk Allah. Kadar baik dan buruk, juga adalah merupakan bagian
dari ketetapan Allah (sunathullah) yang terkandung dalam qudrat dan iradat-Nya
kepada segala sesuatu makhluk ciptaan-Nya. Seperti siang dan malam, terang dan
gelap, serta cahaya dan bayang-bayang. Dan segala sesuatu (ciptaan-Nya)
tersebut tidak dapat menolaknya.
Menerima dan
kemudian menjalaninya adalah mutlak bagi makhluk, dan dengan memanfaatkannya
sebagai sesuatu yang berguna adalah wujud syukur atas segala rahmat-Nya
tersebut. Sehingga membawanya kepada kesadaran, bahwa tiada yang buruk dari
setiap ketetapan Allah. Malah membawanya kepada rasa bersyukur karena telah
menerima hikmah-Nya, karena segala sesuatu yang diterimanya tersebut hanyalah rasa.
Yang sesungguhnya pun adalah fana, sementara, hanya sekejapan mata, dan
kemudian menjadi yang terlupakan karena telah ada lagi kesibukan lain yang
perlu diurus dan harus pula segera diselesaikan.
Begitulah hidup. Sungguh
hanyalah kesia-siaan, bila membawa terus menerus rasa tersebut, apakah itu
kebaikan maupun keburukan, selain menjadikan beban, juga dapat menjadikan
penyakit pada hati serta penyakit pada fisik. Masih banyak urusan atau pekerjaan
lain yang harus diselesaikan, janganlah terpaku hanya kepada yang justru
sia-sia pada akhirnya.
“Maka
apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya
kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Baik dan buruk, serta segala
sesuatu bersama pasangannya adalah karena di alam, sedangkan hal tersebut,
sebenarnya adalah suatu yang mutlak ada sebagai ketetapan (sunathullah) yang
tunggal, tidak berpasangan apalagi saling berlawanan. Hanya karena di alam,
makhluk menganggap dan melihatnya seperti itu. Karena di alam, maka segala keterbatasan
menjadi ada, itupun adalah ketetapan-Nya.
Pasangan Segala Sesuatu
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS
51:49)
Lihat, dan pikirkanlah segala
sesuatu di alam ini, makhluk hidup ataupun tanaman, bermacam benda, rasa yang
berupa keadaan atau suasana, serta kejadian apapun, sesungguhnya semua itu berpasangan.
Membuktikan bahwa segala sesuatu selain Dia adalah makhluk ciptaan-Nya. Juga,
segala sesuatu tersebut saling berinteraksi atau berketerkaitan satu sama
lainnya menciptakan sistem semesta yang saling terkait dan menguntungkan,
simbiosis mutualisme, yang telah ditetapkan oleh-Nya (sunathullah).
Sejauh mata memandang, dan
sedalam-dalamnya berfikir, jika pada akhirnya dapat menemukan sesuatu yang
tunggal, maka Dia-lah Allah. Yang patut disembah dan dipuja, karena oleh
Dia-lah maka segala sesuatu yang terlihat, banyak, akbar, serta sempurna,
menjadi ada dan nyata. Akan tetapi takkan mungkin Dia dapat dilihat dan
ditemukan layaknya melihat dan menemukan sesuatu benda. Mustahil kemungkinan yang
dicipta dapat melihat dan menemukan Sang Pencipta-nya. Hanya dengan hati
yang bersih dari pengakuan (ego) maka keberadaan dan kuasa-Nya dapat
dirasakan dalam bentuk rahmat-Nya yang tiada habis-habisnya terasa, apalagi
terhitung.
Berpasang-pasangan adalah sifat
makhluk sebagai ketetapan mutlak-Nya, juga sebagai perwujudan Akbarnya
Dia di semesta alam beserta isi atau makhluk ciptaan-Nya yang begitu luasnya
tak terukur dan tak terbilang.
Selain wujud nyata yang
terlihat seperti makhluk, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat, dan
benda tak hidup (anggapan sementara secara umum), baik yang nyata dan tak
nyata, semuanya memiliki pasangannya. Begitu pula kepada rasa dan sifat yang
dialami makhluk atau benda tersebut memiliki pasangannya pula. Sebagai
makhluk, maka menilai semua pasangan yang dirasakan atau dialami bathinnya
terangkum sebagai kebaikan atau keburukan. Bila kebaikan, maka
diterimanya bahkan diharapkannya. Dan bila keburukan, maka ditolak atau
dihindarinya.
Padahal keduanya, yaitu
kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang pasti dan harus dialami sebagai
ketetapan mutlak kehidupan dari yang memiliki sejatinya kehidupan yang mutlak,
yaitu Dia. Dan bagi makhluk yang sebagai penerima, yang dapat
atau harus menerima. Dan segala sesuatu yang diterimanya sebenarnya adalah
rahmat Allahu Rahmaanur-rahiiym. Bagaimana mungkin Dia yang Maha Pemurah lagi
Penyayang memberikan keburukan? Carilah hikmahnya, maka kelak diri akan
bersyukur sekalipun yang sebelumnya dianggap sebagai keburukan, kemudian
ternyata membawa manfaat yang merupakan kebaikan.
“Karena
sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Keburukan, adalah ibarat bungkus
yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena
berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha
mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami
segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai
kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya
bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya.
Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego),
maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah
rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti
fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa
harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet,
hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan
setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan?
Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk
mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai
keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Ada sedikit contoh sebagai
hikmah, sodorkanlah segala macam makanan yang enak dan nikmat kepada orang yang
sedang sakit gigi sebagai suatu kebaikan. Tentu dia akan menolaknya
sebagai suatu keburukan yang harus dihindarinya. Maka hikmahnya adalah,
kenikmatan apapun yang merupakan kebaikan yang diberikan akan menjadi keburukan
bagi bathin yang sedang kacau. Apapun menjadi serba buruk, hanya obat
kacaunya yang dia butuhkan. Bathinlah yang menentukan kebaikan ataupun
keburukan yang diterimanya. Dan bila diterima salah satunya, maka pasti pula
akan menerima pasangannya kelak kemudian. Karena segala sesuatu akan datang
hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya.
“Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Kita telah dapat menerima lapar setelah
kenyang, menerima malam setelah siang, bahkan, maaf, menerima ‘buang air’
setelah masuknya makanan dan minuman. Menerima itu sebagai ketetapan yang harus
diterima, akan tetapi cobalah pikirkan dan renungkan bila datang pula ketetapan
lain dari-Nya. Seperti, saat lapar tetapi tidak ada makanan atau uang untuk
membelinya, kelaparan yang terjadi. Atau, saat tiba malam datang tetapi pas
terkena giliran pemadaman listrik, merana yang terjadi. Serta, susah ‘buang
air’ setelah banyak makanan yang masuk.
“Maka
apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya
kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Padahal, sekalipun
ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua
terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah
ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang.
Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu
pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala
sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh
makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah
penilaiannya sendiri yang justru yang dapat menjerumuskannya.
Dikatakan menjerumuskan, bila
diri terhanyut dan terlena oleh kebaikan, atau menolak keburukan
yang datang yang ternyata akibat dari
perbuatannya. Lupa bersyukur bila menerima kebaikan karena hanyut dan terlena
pada kenikmatannya, dan akan menyebabkan datangnya pasangannya (keburukan) yang
semakin besar keburukannya akibat sebelumnya diri yang hanyut dan terlena.
Keburukan yang pasti datang setelah kebaikan, adalah mutlak, akan tetapi hanyut
dan terlena rupanya ikut menambahkan akibat-akibat baru yang semakin
memperburuk keadaan dirinya. Bila tidak diputus ‘rantai’ hanyut dan terlenanya,
maka akan terus berlanjutlah keburukan-keburukan yang akan timbul.
Seperti efek domino.
Sekalipun hadir sesekali kebaikan sebagai rahmat-Nya, tapi terasa tak mencukupi
untuk menutupi keburukan akibat hanyut dan terlena pada masa sebelum-belumnya,
sebagai akibat yang satu per satu yang harus dituai, kelak sebagai hari
kemudian-nya. Diperlukan sikap tegas dan mental yang kuat untuk beralih,
setelah menyadari, dan mulai mengambil jalan lurus-Nya (taubatan nassuha).
Begitupun
sebaliknya, kebaikan yang pasti datang setelah keburukan. Keduanya adalah
sebagai yang pasti datang dan harus diterima diri-diri kemanusiaan sebagai
rahmat-Nya. Sekalipun sekaliber nabi, tetap harus menerima keduanya. Hanya
mereka yang mulia dan berakhlak terpuji sajalah yang dapat rela dan ikhlas
menerima keburukan seperti menerima kebaikan, dan menganggap keduanya adalah
rahmat dari Tuhannya.
Sabar, Bersyukur & Hidup Menerima
“Dan,
orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang
Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak
kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS 13:22)
Kesabaran adalah suatu upaya yang
mengorientasikan kebenaran dalam amal perbuatan agar tidak menimbulkan
kekecewaan atau penyesalan (bagi dirinya maupun pihak lain) dibelakang hari.
Kesuksesan adalah buah dari amal perbuatan yang diiringi kesabaran.
Seperti yang sebelumnya telah diulas dalam uraian-uraian sebelumnya, wajah
Tuhan yang dicari tersebut, ternyata dapat dicari pada perwujudan-Nya
yang berupa semesta alam berikut isinya. Kesabaran mencari-Nya ternyata malah
membawanya kepada memahami diri-nya sendiri, yang justru hanyalah kefanaan
tanpa arti bila tanpa para aparat Allah. Kesabarannya itu pulalah yang
membawanya kepada lebih menghargai kehidupan baik bagi diri-nya sendiri maupun
kepada sesamanya serta makhluk-makhluk Allah lainnya. Sebagi wujud rasa
bersyukurnya atas rahmat petunjuk-Nya yang membawanya kepada keselamatan hidup.
Kesabaran juga dapat menolak kejahatan
seperti diterangkan ayat diatas. Dikarenakan kesabaran adalah salah satu upaya
amal perbuatan yang baik, maka kebaikan itulah yang dapat menolak kejahatan
untuk tidak jadi datang kepadanya.
Lihat dan perhatikanlah, manusia yang selalu menjaga amal
perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan
dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air
(mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon
disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya
itu pun akhirnya akan kembali kepada manusia. Ia akan merasakan nyaman dan
tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan,
tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Inilah
salah satu contoh menolak kejahatan dengan kebaikan. Yaitu kesabaran
dalam kebaikan yang hasilnya kembali kepadanya berupa nikmat yang sungguh untuk
dapat disyukurinya. Atau dalam makna lain dari ayat tersebut adalah, mencegah
kejahatan atau keburukan agar tidak datang, yaitu dengan mendahului perbuatan
kebaikan.
“Karena
sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Begitulah pasangan segala sesuatu tersebut sebagai yang akan datang
secara bergantian. Dengan demikian, kesulitan yang sedang melanda
dirinya, dihadapi dengan kesabaran sebagai wujud keberserah dirian
(islam) kepada Tuhannya. Dan mereka yang telah berserah diri (islam) tentunya
meyakini kemudahan yang akan datang dari Tuhannya dengan bersyukur.
Bila sabar dan bersyukur adalah dua hal
yang merupakan pasangan, maka sabar-nya adalah merupakan tindakan atau
upaya pertahanan terhadap keburukan yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa bersyukur-nya
adalah wujud puja-puji kepada yang memberi kekuatan (yaitu Allah) untuk dapat
melewati keburukan, dan kemudian sebagai menerima lagi kebaikan setelah
keburukan itu berlalu.
Akan tetapi, ternyata, kesabaran bukan
saja hanya pada keburukan yang diterima, melainkan pula pada kebaikan
sebagai anugerah dari-Nya. Karena anugerah kebaikan yang datang dan diterima,
bila tidak disertai pengelolaan yang baik dalam kelurusan-Nya, pada akhirnya
akan membawa bencana keburukan. Segala sesuatu datang dan hadir pasti bersama
pasangannya.
Dan pada
orang-orang yang telah memahami makna kadar baik dan buruk sebagai sesuatu yang
alami (sunathullah), yaitu menghadapi keburukan seperti melalui malam sebagai
sesuatu yang memang pasti dihadapi. Seperti pula, maaf, harus ‘buang air’ bila
tak mau dihinggapi penyakit. Maka diri ini telah menerima hidup sebagai
makhluk Allah, bahwa dia adalah hanya wadah kosong yang telah siap diisi
oleh kehendak-Nya.
Adalah sifat
makhluk, menerima segala sesuatunya, baik itu wujudnya yang merupakan
perwujudan-Nya, hidupnya adalah hidup-Nya, penglihatannya juga merupakan
penglihatan-Nya, bahkan pendengarannya adalah karena karunia dari-Nya. Dan
kepada hal yang lebih kita ketahui dan sadari bahwa bukanlah diri kita yang
memerintahkan, seperti kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari-jemari
dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga, perintah kepada jantung untuk
memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati
makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari
gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan
tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan.
Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati
kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang
menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang
pula kita tidak menyadarinya.
Tiada
sedikitpun peran serta diri kita terhadap semua hal tersebut. Diri hanya ikut
menyaksikan dan merasakan, dan bukanlah operator-nya. Lantas mengapa ada
dosa dan menanggung dosa?
Karena di
alam maka keterbatasan menjadi ada, serta mengurungnya dalam kesempitan
pandangan atau pemahaman, dan segala sesuatu ciptaan-Nya menjadi
berpasang-pasangan, termasuk keinginan diri. Bila keinginan diri lebih
cenderung kepada menyaksikan dan merasakan keburukan, maka dosalah yang
dihadapinya. Dan iblispun dengan siasatnya dapat ikut berperan, mengemas
keburukan agar dipandang indah sebagai kebaikan oleh diri supaya tersesat.
Itulah tipu daya iblis. Pada diri seperti ini, malaikat telah berubah menjadi
iblis yang membangkang perintah Tuhannya, dan tidak mau tunduk (sujud) kepada
keturunan Adam (lihat dan pahami kembali uraian keimanan kepada malaikat).
Pada diri,
menerima keburukan untuk mengetahui kebaikan, yang sesungguhnya adalah tujuan
utama sebenarnya. Maka, menerima dosa untuk segera mengejar pahala kebaikan
yang masih banyak tersebar menunggu untuk diraih, merupakan yang perlu
disadarinya. Adalah hal yang tak wajar bila menyeimbangkan keburukan dengan
kebaikan. Minimalkanlah keburukan sekecil mungkin, dan maksimalkan
sebesar-besarnya kebaikan.
Itulah
manajemen hidup pada umumnya. Seperti pedagang yang tak ingin merugi
terus-menerus atau bahkan seimbang, pas-pasan, yang berarti tiada keuntungan.
Seperti seorang supir yang meminimalkan terjadinya kecelakaan dengan memeriksa
terlebih dahulu kendaraannya, seperti oli, aki, rem, dan lampu-lampu sebelum
bekerja mengendarainya.
Segala
sesuatu selalu bergerak menuju kepada kesempurnaan, yaitu kebaikan. Itulah yang
sesungguhnya hidup menerima. Menerima ketetapan dan kehendak-Nya, yaitu
mencapai kesempurnaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling berbagi rahmat
kepada sesama (sebagai makhluk) semesta alam.
Hanya Tuhan yang Maha Esa atau
Allah yang Maha Tunggal yang hidup, dan selainnya, segala sesuatu termasuk diri
kemanusiaan, yang merupakan ciptaan-Nya, yang dapat hidup karena menerima
kehidupan dari Dia yang juga Maha Hidup. Dan dengan kehidupan
tersebutlah, maka menyebabkan segala sesuatu menjadi memiliki arti atau nilai.
Insan kemanusiaan yang menerima anugerah seluruh ke-20 (dua puluh) sifat
Allah, dari wujud sampai mutakalimaan, adalah merupakan fitrah-nya
sebagai ketetapan-Nya yang takkan pernah berubah.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah
Allah disebabkan Dia
telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Bila pada hidup-nya
saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam
kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah
keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak
dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya,
termasuk keburukan.
Kenalilah
diri sendiri, yaitu dengan berusaha mengenal Tuhan-nya. Atau kenalilah
Tuhan-nya, yaitu dengan berusaha mengenali diri-nya sendiri. Keduanya
adalah cara untuk dapat menerima segala sesuatu, baik itu anugerah dan bencana,
kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan, kemudahan dan kesulitan,
kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, dan segala sesuatu yang
lainnya yang merupakan isi dalam hidup yang pula diterima dari Tuhannya.
Sehingga mencapai puncak kesadaran, bahwa sesungguhnya diri-nya lah yang tidak
ada (gaib). Wujud-nya adalah karena diwujudkan, hidup-nya adalah karena
dihidupkan, kekuatan-nya adalah karena diberikan kekuatan, bahkan nafas-nya pun
karena diberikan, kematian-nya pun adalah karena diberikan oleh Dia
sesungguhnya Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tiada yang luput dari
kuasa-Nya.
Maka keikhlasan
adalah mutlak wajar sebagai perwujudan rasa menerima-nya sebagai sebuah
kemurnian ibadah (amal perbuatan)-nya sebagai insan kemanusiaan yang ada dan
bernilai hanya karena dan kehendak Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah
Allah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu yang berada di langit dan di
bumi serta yang berada diantara keduanya. Tidaklah segala sesuatu tersebut yang
terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Orang yang memiliki kelapangan dada untuk berserah diri
(islam) tentu seharusnya memiliki pula kesabaran. Sebab, mereka yang
melapangkan dadanya akan lebih membuka hatinya terhadap masuknya limpahan
cahaya petunjuk dari Tuhannya.
“Barangsiapa
Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam).
Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya
Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ” (QS 6:125)
Siapapun diri itu, yang telah mencapai
kesabaran, memiliki kelapangan dada untuk keberserahan diri (islam)-nya
kepada Yang Maha Kuasa. Apapun alasan penolakan terhadap ini, sesungguhnya dia
telah memiliki iman dan keyakinan-nya, hanya tinggal tahapan pencapaian
kebenarannya untuk mendapatkan yang haqq yang, mungkin saja, belum tercapai.
Bahkan diri-diri yang merasa telah mencapai kebenaran pun, sesungguhnya
belumlah mencapai kebenaran yang haqq, hanya sedang mengarah kesana. Maka,
adalah naif, bila kita telah berani menetapkan bahwa dia belum islam (berserah
diri). Jadi, hanya tingkatan keikhlasannya-lah yang membedakan kedudukan
seseorang di mata Tuhannya, bukan di mata manusia.
Kesabaran-lah yang sesungguhnya
dapat menerima secara ikhlas bahwa diri sedang mengalami kesulitan, sedang
mengalami kebangkrutan, sedang mengalami fitnah, sedang mengalami musibah. Yang
kesemuanya hanyalah keadaan yang sementara sifatnya, tidak kekal dan abadi,
serta akan berakhir. Seperti terangnya siang yang diakhiri oleh senja, kemudian
datangnya malam yang gelap. Begitulah kehidupan yang di dalamnya begitu beragam
pasangan segala sesuatu yang mengisinya, sehingga terasalah nikmatnya.
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
Bayangkanlah
bila hidup ini monoton, kita hanya menerima kemudahan atau kebahagiaan saja,
apakah akan terasa nikmatnya? Bagaimana bisa kita merasa bahagia bila tak
pernah mengalami kesedihan? Dan bagaimana bisa kita merasa adanya kemudahan
bila tak pernah mengalami kesulitan? Adakah di alam ini yang kita temui tak
bersama pasangannya? Bila kesadarannya telah melampaui ini, maka kesabaran-nya
telah melebur kepada rasa syukur-nya, sehingga yang tinggal hanya puja-pujian
kepada Tuhannya.
Dengan melakoni hidup menerima adalah bentuk usaha
menghilangkan pengakuan (ego) yang membelenggunya, kemudian melangkah
kepada mengakui segala keagungan dan kemurahan Tuhannya atas apa-apa
yang telah diterimanya sebagai anugerah yang dititipkan atau diamanahkan
kepadanya yang kelak perlu dipertanggung jawabkan sebagai amal perbuatan untuk
bekalnya di hari kemudian.
Langganan:
Postingan (Atom)