Senin, 17 Juni 2013

CAHAYA: Bab XXVI - HIDUP BERSAMA ALLAH

CAHAYA: Bab XXVI - HIDUP BERSAMA ALLAH: Bab XXVI HIDUP bersama ALLAH “Hai manusia , sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu , maka pasti...

Bab XXVI - HIDUP BERSAMA ALLAH




Bab XXVI
HIDUP bersama ALLAH
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.”  (QS 84:6)
S
etiap diri kemanusiaan, sebenarnya tidak pernah lepas dari kuasa dan rahmat Tuhannya, karena Dia Maha Meliputi segala sesuatu, baik secara lahir maupun bathin-nya. Secara umum kebanyakan menyadarinya, namun ada beberapa perbedaan pandangan di dalam memahaminya. Diantaranya ada paham yang menganggap satu kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan, dan ada pula yang menganggap keterpisahan wujud makhluk dengan Tuhan. Selain dari kedua paham tersebut di atas, sebagian besarnya, adalah tak perduli dan merasa awam dari pemahaman-pemahaman tentang Tuhannya. Akan tetapi, mereka pun lebih menyukai keterpisahan wujud makhluk dengan Tuhannya, karena merasa takut berlebihan dalam memahami dan tak mau terjebak kedalam kesesatan.
Tidak ada yang salah pada ketiganya, semua memiliki tahapan proses menuju kesempurnaan mengenal Tuhannya, betapapun panjang waktunya. Ada tahapan-tahapan yang memang harus dilalui satu per satu dalam kehidupan ini, termasuk dengan pemahaman, dan tidak dapat dipaksakan. Disitulah fungsi akal dan kesadaran-nya. Jika Allah menghendaki, tentu telah dijadikannya kemanusiaan menjadi umat yang satu. Jelas tidak repot harus mengalami setiap perkembangan hidupnya, bahkan baik buruk-nya pengalaman dalam perjalanan ruhani (kejiwaan) setiap makhluk-Nya. Dan Dia lebih mengetahui yang terbaik bagi makhluk-Nya.
Perjalanan ruhani setiap kemanusiaan yang panjang melewati segala macam pengalaman baik dan buruk-nya, sesunggunhnya adalah yang membuat akal dan kesadaran jiwanya lebih matang kepada kesempurnannya, yaitu jiwa yang kembali suci murni sesuai fitrah kemanusiaannya, ikhlas hanya kepada Tuhannya. Itulah perjalanan mencapai tujuan akhir dalam sejarah panjang kehidupan jiwa. Sekalipun kekotoran jiwa yang tak kunjung bersih, dan harus beberapa kali malalui siklus proses hidup dan mati, serta dibangkitkan secara berulang-ulang sebagai yang mengalami surga dan neraka-nya, itu demi membersihkannya, agar dapat kembali pulang kepada-Nya.
Karena Adam telah diajari seluruh nama-nama oleh Allah, maka sesesungguhnya begitupun pada setiap diri kemanusiaan sebagai yang telah ditanamkan kitab yang nyata (kitab mubiyn) di dalam dada-nya, yaitu seluruh pemahaman melalui akal dan kesadarannya. Lebih menghidupkan Jibril-nya, ruh pengetahuan-nya, maka segala energi atau kekuatan (para malaikat Allah) akan tunduk patuh sebagai yang bersujud kepadanya.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (pengetahuan) seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para malaikat lalu berfirman ; sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar! (QS 2:31)
“Mereka menjawab ; Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”  (QS 2:32)
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”  (QS 2:34)
...... pasti aku (iblis) akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:82-83)
Jiwa kemanusiaan yang hidup bersama Tuhannya, dan memang begitulah sesungguhnya jiwa-jiwa takkan pernah dapat memisahkan dirinya dari segala kuasa Tuhannya, yaitu selalu bersama para malaikat-Nya, rasul-Nya, kitab-Nya, mengalami hari kemudian-Nya, dan menerima kadar baik dan buruk-Nya sebagai rahmat tunggal-Nya. Tetapi, hal ini hanya kepada mereka yang menyadari (ingat) hal-hal tersebut diataslah yang dapat merasakan keberadaan Allah sebagai Tuhannya, yang selalu meliputi dirinya dengan segala kuasa rahmat pemeliharaan-Nya. Tidak sedikitpun diri atau jiwa-nya berkuasa atas apa-apa yang terjadi atau menimpa diri-nya, sekalipun dalam setiap tarikan nafas-Nya, maka apalagi hidup dan kehidupannya.
Apakah jiwa atau diri-nya yang menciptakan hidung, kerongkongan dan paru-parunya hingga dapat menarik nafas dan mengambil nafas? Bahkan memintanya pun, tidak. Udara bersih dan oksigennya saja telah berlimpah disediakan-Nya. Dan bagaimana dengan rizki-rizki lain-Nya?! Sungguh, diri kemanusiaan hanyalah menerima dan merasakan nikmat-Nya saja. Dan bila mengklasifikasikan setiap nikmat-Nya kedalam penilaian nikmat kebaikan ataupun nikmat keburukan yang diterimanya, itupun hanya sekedar persepsi persangkaan keterbatasan akal dan kesadarannya belaka, yang sesungguhnya masih dalam tahap berkembang menuju kesempurnaan jiwa kemanusiaannya. Karena jiwanya yang masih terpengaruh oleh hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya,  yang kelak sebagai yang akan disesalinya sendiri. Tetapi, begitulah perjalanan kehidupan jiwa kemanusiaan yang menuju kesempurnaan-Nya dengan mengalami banyak hal dan rintangan sebagai proses pembersihan atau penyucian jiwanya agar dapat kembali pulang kepada Dia Yang Maha Tunggal, sumber dan tujuan segala sesuatu berasal dan bertujuan.
Dan tahap perjalanan tertinggi jiwa kemanusiaan di dunia adalah bertemu Tuhannya seperti nabi-nabi. Nabi Muhammad SAW menemui-Nya, dengan mi’raj, maka sang akal kesadaran (Jibril – ruhul qudus)-nya pun harus ditanggalkan di ambang pintu Sidratul Muntaha (langit ke-tujuh). Jika tidak, dan memaksakan ikut masuk bersama jiwa nabi Muhammad SAW, maka akan terbakar dilebur menjadi satu dengan jiwa beliau yang juga telah suci murni sebagi yang tunggal dalam keikhlasan kepada Tuhannya Yang Maha Tunggal. Tiada sesuatu pun yang dapat menemui-Nya bila masih membawa-bawa sesuatu sekecil apapun itu, termasuk keinginan, selain hanya jiwa tunggal yang murni ikhlas.
“Hai jama’ah jin dan manusia, jika kemu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan. (QS 55:33)
Bagi mata lahir, takkan terlihat lapis-lapis langit yang tujuh. Dan bagi akal pengetahuan tentu dengan susah payah untuk dapat menembusnya satu lapis saja, kecuali dengan kekuatan-Nya. Akan tetapi, dengan hati yang bersih muni dan ikhlas, ketujuh lapisan langit tersebut pasti dapat ditembusnya seiring dengan pensucian jiwa-nya.
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS 84:6)
Begitulah nabi Muhammad SAW ketika mi’raj ke langit ke tujuh (sidrathul muntaha) diantar oleh malaikat Jibril untuk menemui dan berhadap-hadapan dengan Tuhan-nya.
Terbukanya hijab-hijab selaput ketujuh lapisan langit adalah hakikat perjalanan kehidupan jiwa itu sendiri di ke-tujuh alam yang berlapis-lapis tersebut, yang tak terlihat oleh mata lahir dan terlupakan (dari memori ingatannya akan perjalanan-perjalanan sebelumnya), dan yang sebenarnya pun berada di alam dunia ini pula. Dialah Allah penguasa ke-tujuh alam tersebut.
Alhamdulillahi rabbul ‘aalamiiyn - malikiyawmid-diiyn
Allah Tuhan seluruh alam – Yang menguasai hari-hari agama.
(QS 1:2 - 4)
Alam Energi (Ruh)
Sebenarnya tentang alam ini telah sempat diulas di Bagian 1 Keimanan Para Malaikat dan di Bagian 4 Lahir & Bathin, yaitu energi bawaan (yang membawa qudrat dan iradat-Nya) dari pancaran Cahaya Allah (Nur-Nya) saat penciptaan awal. Secara umum dikalangan para ulama, energi ini dikenal dengan Nur Muhammad, yaitu energi dasar penciptaan segala sesuatu. Dalam bahasa ilmiah, ruang semesta alam ini, pada awal penciptaannya, dipenuhi partikel-partikel cahaya (dari pancaran cahaya-Nya) sebagai cikal-bakal segala sesuatu yang mengisi alam semesta, yaitu langit dan bumi dan segala isinya. Energi tersebutlah yang dimaksud firman-Nya, sebagai makhluk-makhluk atau jiwa-jiwa yang merupakan sesuatu yang belum bisa disebut.
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS 76:1)
Energi ini terus berkembang, menjalani kehidupan-nya, dan dengan kecenderungannya untuk selalu berinteraksi membentuk koloni dengan partikel-partikel energi lainnya hingga memiliki bentuk wujud atau jasad-nya sebagai materi penyusun unsur, atau yang lebih sedikit rumit lagi yaitu senyawa (kimia).
Dan pada tahap ini, sekalipun telah memiliki bungkus atau jasad-nya, masih sebagai yang belum dapat disebut manusia. Tetapi tetap memiliki ruh-nya (malaikat) sebagai energi bawaan yang membawa qudrat dan iradat-Nya, yaitu yang membawa kuasa dan kehendak-Nya untuk mewujudkan segala sesuatu yang telah menjadi ketetapan Allah SWT.
“...... dan malaikat dalam naungan awan.........  (QS 2:210)
“Dia-lah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, buatlah sarang-sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap buah dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah tiu, keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang berpikir.”  (QS 16:68-69)
“.... dan (malaikat) yang mengatur urusan.” (QS 79:5)
“Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari yang setara dengan lima puluh ribu tahun.” (QS 70:4)
Pada bab awal tentang keimanan kepada para malaikat, telah diuraikan secara singkat, tentang bagaimana yang dengan pancaran cahaya-Nya, Allah memulai penciptaan segala sesuatu. Dan sebagaimana telah diketahui secara luas, bahwa para malaikat yang merupakan aparat-aparat Allah diciptakan dari cahaya-Nya sebagai awal mula dan sebagai unsur dasar penciptaan segala sesuatu, adalah juga merupakan energi dasar setiap materi seperti yang telah diuraikan di atas.
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap’, masing-masing dua, tiga dan empat. Allah menmbahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”     (QS 35:1)
Energi-energi tersebut, yang disebut pula malaikat Allah, adalah yang membawa kekuatan (qudrat dan iradat) -Nya dalam setiap kuasa dan kehendaknya dalam setiap penciptaan segala sesuatu di seluruh hingga pelosok semesta alam raya ini. Kekuatan atau energi ini sebagai yang dilambangkan dengan ‘sayap’ seperti pada penafsiran ayat di atas. Kata ‘janah’ yang diterjemahkan sebagai sayap, sebenarnya bermakna tingkatan. Sehingga pengertiannya agar mudah dipahami adalah kekuatan yang bertingkat-tingkat pada kemalaikatan. Sayap atau kekuatan-nya tersebut berbeda-beda, ada yang memiliki dua, tiga, atau empat kali lipat kekuatan  dibanding yang lainnya.
Dan itulah mengapa pada kehidupannya, kemanusiaan pun tetap dipengaruhi oleh para malaikat Allah, sebagai pembawa qudrat dan iradat-Nya sehingga tiada sesuatu pun termasuk jiwa yang dapat lepas dari kuasa dan kehendak-Nya Yang Maha Meliputi segala sesuatu. Karena kemanusiaan amat bergantung kepada energi sebagai daya penggerak kehidupannya.
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah......  (QS 13:11)
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan) supaya Dia mengeluarkanmu dari kegelapan kepada cahaya. Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.” (QS 33:43)

Alam Rahim
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh).” (QS 23:12-13)
Alam ini adalah alam kasih sayang tempat atau pabrik pembentukan dan penyempurnaan menjadi wujud sempurna (ilmiahnya, reproduksi manusia). Dimana bahan baku dari intisari unsur-unsur tanah, air, api, udara dan cahaya dari alam energi sebelumnya yang telah diolah menjadi sperma dan sel telur kemudian dipertemukan ditempat ini melalui rasa kasih sayang yang berpadu. Tidakkah mereka, atau sebagai yang belum dapat disebut itu masing-masing membawa energi bawaan-nya, yaitu qudrat dan iradat-Nya? Itulah makanya tempat ini disebut rahim.
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (durhaka) terhadap Tuhan-mu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)-mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS 82:6-8)
Dengan ditemukannya mikroskop elektron, maka pemahaman tentang wujud sperma dengan jumlah selnya yang mencapai milyaran dan mekanisme pergerakannya menjadi terungkap dan lebih kompleks lagi sebagai tambahan bagi ilmu kedokteran modern. Maka mani sebagai air yang terpancar (sperma), tidak hanya sekedar cairan biasa yang bukan apa-apa, melainkan tingkatan makhluk hidup sebagai cikal bakal kemanusiaan.
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal sesungguhnya Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian.” (QS 71:13-14)
Sperma atau mani milik laki-laki dan sel telur milik wanita yang masing-masing tersimpan di tempatnya, adalah hasil dari saripati di dalam tanah yang dikonsumsi oleh tumbuhan dan hewan yang juga dikonsumsi kemanusiaan. Dan tidak hanya itu, kemanusiaan dalam kehidupannya, juga mengkonsumsi air sebagai minuman, udara untuk pernafasan, dan terutama juga cahaya matahari bagi keseimbangan menyeluruh kehidupannya. Dan metabolisme di dalam tubuhnya membuat persenyawaan kimia dari saripati-saripati tersebut terkumpul dan dimanfaatkan sebagian untuk energi hidupnya, dan yang sebagian lagi untuk memproduksi sperma atau sel telur secara terus menerus tiada pernah berhenti seiring waktu melemahnya semua organ tubuh kemanusiaan yang semakin menua.
Sperma tersebut tersimpan sementara di dalam tempat testis yang memproduksi cairan bagi media sel sperma yang memudahkan pergerakan ketika keluar, kemudian dengan saluran keluar yang bermuara ke saluran tempat keluarnya air kencing. Ada beberapa kelenjar tambahan yang bertebaran di sepanjang saluran tersebut, seperti zat pelumas yang sebagai memperlancar alirannya ketika keluar, dan prostat yang memberi sifat krim (pengental) dan yang memiliki bau khas pada sperma, serta kelenjar cooper atau merry yang sebagai cairan pelekat juga lettre sebagai cairan lendir.
Sel telur tersimpan di dalam tempat tertentu di dalam rahim, dan setelah dibuahi bergerak turun pada batas tertentu dan menetap di sana dengan berpegangan dengan selaput lendir dan lengan otot setelah tersusunnya plasenta. Pada kasus lain, jika sel telur yang telah dibuahi sperma itu menetap di saluran fallopian dan tidak di uterus (rahim), maka kehamilan menjadi akan terganggu. Bila telah ada sel telur yang terbuahi, maka sistem produksi sel telur akan berhenti selama proses kehamilan. Dan pada sel-sel telur yang tidak dibuahi akan terbuang menjadi darah kotor dalam menstruasi atau haid  yang rutin setiap bulannya.
Mekanisme pembuahan (reproduksi) dimulai dari mani atau sperma (milik laki-laki) yang terpancar yang di dalamnya mengandung milyaran sel sperma, dan bergerak di dalam rahim mencari dan berusaha menembus sel telur (milik wanita) yang jumlahnya hanya beberapa saja tidak mencapai lebih dari puluhan. Yang diperlukan untuk pembuahan sel telur tersebut hanya satu sel sperma saja, sehingga terjadi persaingan yang amat ketat diantara milyaran sel tersebut. Sehingga hanya sel sperma yang memiliki tingkat kekuatan dan kecepatan bergerak sajalah yang berhasil menembus masuk kedalam sel telur untuk sebuah pembuahan.
Dan ditemukannya alat USG dalam dunia kedokteran semakin lagi memperjelas bagaimana tingkatan perkembangan (tingkatan kejadian) janin di dalam rahim tahap demi tahap seperti yang dijelaskan di dalam  Al Qur’an, menjadi yang dapat dipantau langsung di dalam monitor alat tersebut, dan sebelumnya pengetahuan tersebut adalah merupakan hal yang ghaib.
“Kemudian air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat (segumpal darah), lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (yang berbentuk) lain, Maka Maha Suci-lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS 23:14)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar .....” (QS 41:53)
Dalam pengamatannya, maka diketahui pulalah perkembangan sesuatu yang melekat itu, adalah sel telur yang telah dibuahi sperma sebagai yang tumbuh semakin membesar. Tumbuh pula diantaranya jonjot (villi) sebagai yang menghisap zat-zat bagi pertumbuhannya dari dinding rahim, seperti akar-akar tanaman yang masuk kedalam tanah. Sebab itulah Al Qur’an menyebutkannya sebagai sesuatu yang melekat (dan penasirannya bukanlah segumpal darah).
Di dalam rahim inilah sebagai alam tempat tumbuhnya ia yang berawal dari satu sel sperma dan satu sel telur menjadi multi sel yang semakin terus berkembang hingga milyaran sel membentuk daging, tulang, dan otot-otot serta danging yang membungkusnya. Sel-sel tersebut terus berkembang membentuk jaringan-jaringan sel lainnya yang lebih kompleks dan rumit seperti kepala, badan, kaki dan tangan. Juga membentuk organ-organ seperti jantung, hati, paru-paru, dan otak serta sel-sel sarafnya. Kaluar masuknya zat-zat makanan dan kotoran hasil buangannya melalui ari-ari sebagai tali pipa saluran yang menghubungkan dia dengan ibunya.
“Kemudia Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur”  (QS 32:9)
“..... yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi ,....”  (QS 22:5)
“.... dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang dari dalam kubur.”  (QS 22:7)
Maka dengan penerangan mana lagikah yang dapat menjelaskan manusia tentang kebangkitannya kelak? Bahwa ia akan mengalami kematian dan dikubur di dalam tanah, jiwa-nya dipegang Allah, kemudian jasadnya terurai, sebagiannya melebur menjadi sari pati tanah, dan sebagiannya lagi dimakan cacing dan makhluk-makhluk renik lainnya di dalam tanah, makhluk-makhluk itupun mati terurai dan menjadi saripati tanah yang menyuburkan tanaman. Cacing yang hidup diambil sebagai umpan ikan yang dimakan manusia, dan tanaman menghasilkan buah dan yang sebagai sayur mayur sebagai konsumsi manusia, dan saripati tanah lainnya dihisap rerumputan yang dikonsumsi hewan ternak. Dan pada akhirnya semuanya sebagai yang dikonsumsi manusia pula. Sungguh manusia adalah pemakan segala.
Apa-apa yang dikonsumsi dan masuk ke tubuh manusia, yang kemudian metabolisme di dalam tubuhnya, membuat persenyawaan kimia dari saripati-saripati tersebut terkumpul, dan dimanfaatkan sebagian untuk energi hidupnya, dan yang sebagian lagi untuk memproduksi sperma pada laki-laki, atau sel telur pada perempuan. Begitulah kebangkitan pada kemanusiaan melalui ayah dan ibunya.

Alam Dunia
Jiwa pada alam ini amat dipengaruhi materinya, yaitu keinginan dan kebutuhan lahir yang kelihatan nyata dan memabukkan, juga amat bergantung pada akal dan kesadaran sebagai penyelaras atau penyeimbang agar kekuatan hawa nafsunya tersebut tak menjadikannya malah terperosok kepada kesesatan yang merugikan dirinya sendiri.
Di alam dunia ini yang serba materi, Allah membiarkan jiwa kemanusiaan memilih sendiri dengan menggunakan akal dan kesadarannya diantara 2 jalan, yaitu jalan kefasikkan atau jalan ketakwaan. Padahal hanya prasangka kemanusiaan saja kedua jalan itu menjadi ada. Sesungguhnya yang Allah berikan hanya jalan tunggal untuk mencapai keselamatan, tetapi jiwa di alam dunia ini menilainya sebagai yang berpasangan, terbias lagi menjadi banyak hal, dan kesemuanya selalu dinilai berdasarkan baik-buruk dan benar-salah. Segala sesuatu di alam ini, sesungguhnya adalah karena anugerah rahmat tunggal-Nya, yaitu kebaikan, dan menjadi keburukan bagi jiwa bila tak sesuai keinginan dan kebutuhannya. Begitulah, kuatnya keinginan hawa nafsu yang mendorong segala kebutuhannya agar terpenuhi, menjadikan segala sesuatu menjadi banyak dalam perbedaan dan berpasang-pasangan sebagai kebaikan dan keburukan.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”    (QS 7:172)
Dengan demikian Allah mengingatkan jiwa kemanusiaan kembali akan perjanjian atau persaksian-nya atas segala hal yang dapat melalaikan fitrah-nya, suatu ketetapan (sunathullah)-Nya, sampai pada hari Kiamat. Dan adalah hawa nafs (jiwa atau ego)-nya yang dapat menjerumuskannya kepada kesesatan dari jalan lurus Tuhannya.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka sujudlah mereka kecuali iblis, dia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
Pembangkangan sebagian para malaikat yang menjadikannya disebut iblis karena menolak sujud kepada kemanusiaan atas perintah Allah, adalah peran yang harus dimainkannya sebagai tokoh antagonis yang terkutuk. Seperti pula ketika Musa memahami peran Khidir yang rela sebagai perusak dan pembunuh (tetapi ada pula perbuatan kebajikannya) dalam kisahnya di Al Qur’an, hanya saja, Khidir sebagai yang terpuji dan sebagai contoh kecerdasan akal dan kesadaran bagi Musa. Renungkanlah. Semua itu karena qudrat dan iradat-Nya yang harus dijalani dalam kehidupannya sebagai yang memahami kehendak Allah SWT.
Sayangnya, kebanyakan jiwa tak menyadari bahwa pembangkangan jiwanya sendirilah yang menyebabkan sebagian para malaikat-Nya berubah menjadi iblis yang tak mau tunduk patuh (sujud) membantu mempermudah kehidupan kemanusiaan dan malah makin menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kesesatan.
Seperti yang telah dibahas dan diulas sebelum-belumnya, rasa berserah diri (islam) yang secara ikhlas total kepada dan karena Allah semata, lepas dari kebutuhan dan keinginan hawa nafs (jiwa dan ego)-nya, adalah cara mendekatkan diri untuk dapat hidup bersama Tuhannya. Begitulah wujud fitrah kemanusiaan sebagai wakil (khalifah)-Nya di muka bumi yang menjadi rahmat di semesta alam bagi sesama makhluk-Nya.
Sehinggga, sujud-nya kemalaikatan (seperti dalam firmannya di dalam QS 2:34) dapat bermakna,
1.    Sebagai perintah atau penugasan kepada para malaikat untuk membantu kehidupan kemanusiaan.
2.    Sebagai perintah atau penugasan kepada kemanusiaan untuk menundukkan segala sesuatu di semesta alam, termasuk yang ada pada dirinya sendiri, yang ternyata seluruhnya adalah para malaikat Allah.
3.    Sebagai pengingat kepada kemanusiaan agar menjaga jiwanya selalu dalam keadaan tunduk patuh atau ikhlas berserah diri (islam) pada jalan lurus-Nya, sehingga tidak menyebabkan para malaikat-Nya berubah menjadi malaikat pembangkang (iblis) yang tak mau tunduk patuh (sujud) membantu mempermudah kehidupan kemnausiaan yang pada akhirnya malah merugikan dirinya sendiri.
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”  (QS 31:20)
Hidup bersama-Nya adalah karena Dia Yang Maha Pemurah, maka mewujudkan dirinya sebagai yang bersifat murah hati kepada sesama. Karena Dia Yang Maha Kasih Sayang, maka mewujudkan dirinya sebagai yang penuh rasa kasih sayang kepada sesama makhluk Allah. Karena Dia Yang Maha Adil lagi Bijaksana, maka mewujudkan dirinya sebagai yang mengutamakan keadilan dan kebijaksanaan. Begitulah sehing terwujudlah sifat-sifat Allah di alam melalui kemanusiaan yang sebagai perwujudan-Nya dan sesuai dengan ketetapan fitrah-Nya, yaitu wakil (khalifah)-Nya di muka bumi.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Di alam dunia ini, jiwa kemanusiaan pun selalu disertai peran akal dan kesadaran-nya, sama seperti selalu disertainya oleh hawa nafs (jiwa atau ego)-nya, namun disitulah letak penyempurnaan jiwa untuk mencapai kebersihan dan kemurniaannya. Dan adalah akal dan kesadaran-nya sebagai penyelaras dorongan hawa nafs-nya yang selalu bergerak jauh lebih cepat mendahului akal dan kesadarannnya.
Akal dan kesadaran adalah sebagai yang telah ditanamkan di dalam dada setiap kemanusiaan (kitab mubiiyn), tetapi pemahaman hikmahnya menunggu dibukakan dadanya atau diberikan petunjuk oleh-Nya. Hal ini baru akan terasa kebenarannya hanya bila akal telah mengalami jalan buntu, kemudian datanglah petunjuk Allah sebagai ilham atau ide yang dapat mengeluarkannya dari kebuntuan kesulitannya, seakan-akan Allah telah memberikan kepadanya mu’jizat.
“Sebenarnya Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.(QS 29:49)
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”  (QS 2:269)
Begitulah kemanusiaan dengan tingkat akal dan kesadarannya sebagai yang bertahap-tahap mengalami perkembangannnya menuju kesempurnaan yang membawa jiwanya pula pada kesempurnaan tertinggi, pada akhirnya.
Kita dapat mengambil hikmah dalam kisah Musa yang mencari ilmu kepada Khidir (QS 18:60-82), yaitu mereka sebagai kemanusiaan yang sama-sama telah diberi akal dan kesadaran oleh Tuhannya, namun hanya kepada Khidir diberi petunjuk pengetahuan tentang masa depan, dan diberikan hak atau perintah untuk mengambil tindakan, sekalipun Musa adalah termasuk salah seorang manusia yang dimuliakan Allah.
Jika saja pada umumnya di kehidupan ini, banyak manusia yang diciptakan Allah seperti Khidir, maka tentu banyak menimbulkan kehebohan di kehidupan masyarakat yang mengakibatkan pertentangan-pertentangan. Dan begitulah Allah berkehendak menyempurnakan kehidupan kemanusiaan, sehingga memahami takdir-Nya adalah sebagai pengganti Khidir demi jalannya penyempurnaan kehidupan kemanusiaan agar sesuai ketetapan atas kehendak-Nya, sunathullah.
Maka dengan demikian, Dia izinkan terjadinya kejahatan-kejahatan di muka bumi, sekalipun tujuan utama-Nya adalah penyempurnaan jiwa-jiwa kemanusiaan, tetapi melalui jiwa-jiwa tersesatlah Dia membalas kesesatan-kesesatan sebelumnya. Dan bagi mereka yang menyadari kesalahan akan kejahatannya, tentu akan mengambil pelajaran sebagai yang tak akan diulanginya lagi (QS 2:269).
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya.”   (QS 99:7-8)
Sesunggguhnya Allah bukanlah sebagai pembalas, tetapi Dia telah menetapkan sistem (sunathullah)-Nya yang amat sempurna, seperti bunyi firman-Nya pada ayat di atas.
Akal dan kesadaran diberikan Allah sebagai anugerah tertinggi bagi kemanusiaan untuk memahami kebenaran hakikat keimanan atau keyakinan yang terlebih dahulu datang melalui berita-berita yang disampaikan oleh nabi-nabi Allah dan melalui kitab suci yang diwahyukan-Nya. Namun tidak sedikit, bahkan para ulama atau pemuka agama, yang meragukan kemampuan akal. Bahkan disebutnya akal sebagai yang menipu seperti tertipunya mata oleh fatamorgana. Padahal fatamorgana tersebut mereka ketahui dan definisikan dengan menggunakan akal mereka.
Keterbatasan akal adalah tidak mutlak terbatas, dan sebagai yang masih dalam perkembangannya. Berhentinya perkembangan akal dan kesadaran pada diri kemanusiaan sebagai yang terbatas adalah pada saat kematiannya. Dan sesungguhnya, itupun masih berlanjut perkembangannya dimanfaatkan sebagai ilmu dan pengetahuan menuju kesempurnaan oleh segenap kemanusiaan tanpa pernah berhenti sebagai yang terbatas.
Sehingga, seharusnya tidak ada alasan meragukannya, sedangkan mereka dapat meragukannya pun dengan menggunakan akalnya. Asal saja mereka tak temasuk golongan yang berputus asa atas rahmat Allah. Bagaimana mungkin mereka dapat menolak akal dengan menggunakan argumen-argumen yang berdasarkan akalnya. Sungguh naif. Mereka seperti orang yang sibuk menasehati banyak orang tentang akibat buruk dan bahayanya perut kenyang, namun dimulutnya masih penuh makanan yang sedang dikunyahnya.
Menyadari pentingnya peranan akal, dapat pula menghindari kesesatan yang disebabkan taqlid buta yang mengatakan, “Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami nash-nash al Qur’an tentang peristiwa alam, sejarah kemanusiaan, dan hal-hal ghaib, berarti menggunakan sesuatu yang terbatas terhadap perbuatan-perbuatan Tuhan, Allah Yang Maha Mutlak lagi Tidak Terbatas.”
Sungguh lucu pernyataan tersebut. Maka dengan apalagi kah, kemanusiaan berusaha dapat memahami firman Allah yang memang ditujukan kepada kemanusiaan, bila tidak menggunakan akalnya? Sudah sepatutnya akal kemanusiaan terbatas, tetapi tetap mengalami perkembangannya menuju kesempurnaan, untuk mendapatkan kebenaran dari memahami petunjuk yang terdapat di dalam nash-nash al Qur’an, karena bila akal kemanusiaan diberikan Allah tanpa keterbatasan, maka tak perlu lagi Allah menyampaikan firman-Nya dalam bentuk nash-nash al Qur’an sebagai petunjuk bagi kemanusiaan, disebabkan akalnya telah dapat menjawab segala tantangan kehidupan tanpa tersesat jalan pada kesesatan yang merugikan dirinya. Dan bila akal kemanusiaan sebagai yang tidak terbatas, maka dia tidak lagi disebut sebagai makhluk. Karena dengan ketidak terbatasan akalnya, maka dia tak lagi membutuhkan Tuhannya.
Itu adalah hal yang tak mungkin, dan betapa banyaknya firman Allah yang tersebar di dalam Al Qur’an, yang menerangkan kegunaan akal dalam memahami ayat-ayat (tanda kekuasaan) Allah, serta ketergantungan kemanusiaan dari petunjuk Allah terhadap pemahaman segala sesuatu. Sehingga keinginan memahami suatu hal adalah perwujudan dari kehendak Allah kepada kemanusiaan. Dengan kata lain, yang bermakna, bahwa Dia jelas menghendaki kemanusiaan lebih menggunakan potensi akal dan kesadaran-nya secara maksimal agar dapat mewujudkan segala kehendak-Nya sebagai rahmat bagi semesta alam. Dan adalah ketetapan Allah diberikannya kepada kemanusiaan untuk cenderung dan berkeinginan mengetahui segala sesuatu hal. Bagaimana mungkin, mereka yang menolak akal, dapat lengah dari firman-firman Allah tersebut.
Sehingga, masalahnya bukan pada keterbatasan yang menunjukkan ketidakmampuan akal dan kesadaran, melainkan lebih kepada tahapan-tahapan (maqam-maqam) yang harus dilalui oleh akal untuk mendapatkan kesadaran yang memahami hal demi hal sesuai tingkat kerumitannya. Dan hanya Allah-lah yang membukakan hijab-hijab yang menyelimuti lapis demi lapis hakikat segala sesuatu sebagai petunjuk kebenaran (yang haqq) bagi kemanusiaan.
Kehidupan di alam dunia ini, sekalipun pada awalnya menekankan jauh lebih kepada yang bersifat materi, namun hal tersebut disebabkan oleh dorongan keinginan yang bersifat mencari dan mendapatkan kepuasan bathin. Mari kita simak ayat-ayat berikut ini,
“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.....”  (QS 6:165)
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak laki-laki, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”  (QS 3:14)
Dan beberapa penjelasannya mengenai ujian terhadap keinginan-keinginan semu manusia,
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi ?   (QS 28:2)

“Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan, diantaranya ada orang-orang yang saleh dan ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan yang baik-baik (nikmat) dan yang buruk-buruk (bencana), agar mereka kembali (kepada kebenaran).”  (QS 7:168)

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya.”  (QS 18:7)

“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar ? dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.”  (QS 25:20)

Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak-yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.”  (QS 3:186)

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”  (QS 2:155)

“Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang bathil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang haqq dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat pebandingan-perbandingan bagi mereka.”   (QS 47:3)

“..... Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu ada di hadapannya, ia-pun berkata : ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.”  (QS 27:40)
Begitulah Allah dengan segala firman-Nya memancing akal dan kesadaran kemanusian, agar tidak hanya terpaku pada kehidupan lahir (nyata) di alam dunia ini saja, namun juga hendaknya tergugah memikirkan yang bathin (tak terlihat). Yaitu, kebajikan dalam setiap amal perbuatan yang bertujuan hendak mendapatkan keinginan-keinginan kehidupan dunianya. Amal perbuatan tersebutlah yang amat menentukan kehidupan selanjutnya hingga ke alam-alam lainnya sebagai perjalanan panjang kehidupan jiwanya.
Menyadari dan memahami dengan akal dan kesadaran-nya, bahwa kehidupan hari ini adalah karena apa yang diusahakan oleh kehidupan kemarin atau sebelumnya. Maka apa yang diusahakan pada kehidupan hari ini, tentu juga amat menentukan kehidupan esok hari dan selanjutnya. Menyadari hal tersebut adalah juga menyadari kebenaran keimanannya, dan dapat membawanya kepada kebenaran-kebenaran lainnya untuk mencapai tingkat tertinggi hakikat sejati, yaitu kembali pulang kepada Dia Yang Maha Tunggal.
Mengapa menjadi timbul keinginan hidup bersama Allah, bila akal dan kesadaran telah memahami, bahwa tiada seorang atau segala sesuatu pun yang dapat lepas dari segala kuasa dan rahmat-Nya? Bahwa sesungguhnya Dia dekat, bahkan lebih dekat dari pada urat lehernya sendiri. Bahwa Dia meliputi segala sesuatu, termasuk diri-diri kemanusiaan.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Hidup bersama Allah adalah memahami hal-hal tersebut dan mewujudkan kehendak dan ketetapan-Nya sebagai fitrah kemanusiaannya, wakil Tuhan di muka bumi, yaitu sebagai khalifah yang menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘aalamiiyn).
Alam dunia sungguh penuh dengan lapisan hijab ketidak tahuan atau kebodohan, sebagai yang terlupakan dari apa-apa yang diketahui di alam-alam sebelumnya. Lapisan-lapisannya menutupi hati (qalb atau kalbu) diri-diri kemanusiaan akibat cenderungnya keinginan dan hawa nafs-nya kepada setiap yang bersifat materi keduniaan.
Keinginan dan hawa nafs yang tak dapat dikendalikan-lah yang menyedot perhatiaan dan energi-nya sehingga yang selainnya sebagai yang terlupakan. Sekalipun ibadah yang dilakukannya sebagai hal yang rutin, namun bila keinginan dan hawa nafs-nya tak terkendali, maka segala ibadahnya tak memiliki perhatian dan kekhusyu’an-nya, yang seharusnya semata karena dan untuk Allah. Maka hilanglah keikhlasannya amal perbuatannya, dan bila seperti itu hilang pula rasa keberserah dirian (islam)-nya kepada Tuhan sebagai sumber segala perhatian dan tujuan.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”  (QS 7:172)
Alam Penantian (Barzhak)
Alam ini adalah alam penantian, dimana jiwa sebagai yang disimpan Allah, sementara jasad di dalam tanah kubur terurai kembali menjadi unsur-unsur yang terpisah satu sama lainnya dan tersebar. Namun unsur-unsur tersebut tetap memiliki ruh-ruhnya, menunggu suatu waktu yang telah ditentukan-Nya dikumpulkan kembali membentuk jasadnya, kemudian bersama jiwanya sama-sama sebagai yang dibangkitkan kembali dan terlahir kembali ke alam dunia sebagai bayi melalui jasad ibunya, untuk mengalami hari-hari pembalasan-nya, surga dan nerakanya. Sebagaimana yang telah diulas sebelumnya pada alam energi dan alam rahim.
Alam ini adalah alam bagi perjalanan panjang kehidupan kembali energi (ruh) unsur-unsur penyusun jasad kemanusiaan yang telah terurai di dalam tanah (kubur). Ada yang menetap lama pada kedalaman tanah, ada yang terbawa menjadi makanan cacing atau hewan-hewan berjasad renik lainnya, kemudian naik ke permukaan tanah berinteraksi dengan makhluk-makhluk lainnya. Ada pula yang bercampur dengan resapan air  hujan dan menjadi saripati tanah yang dihisap oleh akar-akar rerumputan atau tanaman bunga maupun buah-buahan. Kesemuanya tersebut yang pada akhirnya dapat berujung sebagai yang dikonsumsi manusia, seperti yang telah diulas pada alam rahim sebelumnya, yang kelak sebagai bahan baku sperma dan sel telur, sehingga kemudian terlahir (dibangkitkan) kembali sebagai kemanusiaan yang berjasad kembali.
Juga ada pula yang menetap lama di bebatuan yang kemudian dipecah dengan dipukul-pukul atau digiling menjadi batu untuk pondasi bangunan atau batu koral. Dan menetap di bebatuan mineral menjadi batu akik atau permata yang telah dibentuk dengan jalan mengasahnya, atau di bongkah-bongkah bebatuan emas dan perak yang kemudian dilebur untuk memisahkan kotoran-kotoran  yang tak bergunanya. Seperti itulah perjalanan energi dari unsur-unsur penyusun jasad kemanusiaan.
Ulasan tersebut di atas, bila dikaitkan dengan kepercayaan primitif nenek moyang kemanusiaan, yang memiliki kesamaan dimanapun wilayahnya di muka bumi ini, bukanlah hal yang aneh dan dianggap sebagai mitos belaka. Mereka telah mengetahui adanya unsur lahir dan bathin pada setiap benda atau materi, tentang adanya kekuatan (energi) sebagai yang bathin pada setiap benda yang kelihatan (sebagai yang lahir). Seperti yang kita ketahui pada benda sederhana saja yang biasa terlihat dan kita alami sehari-sehari, yaitu air yang kita minum adalah merupakan energi bagi tubuh kita.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (pengetahuan) seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para malaikat lalu berfirman ; sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar! (QS 2:31)
Dan dengan demikian, jelas sekali hal tersebut sangat berhubungan dengan pengetahuan atau pemahaman mereka tentang adanya kekuatan atau energi yang disebut juga dengan istilah ruh, sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu (seluruh) nama-nama yang telah diberikan Allah kepada Adam  sebagai bapak dari seluruh kemanusiaan.
Hanya sayang, jika diperjalanannya, mereka menganggap kekuatan-kekuatan tersebut sebagai kekuatan yang patut disembah atau diibadahi, seperti beribadah kepada Tuhannya. Atau, hal tersebut karena persepsi kita yang salah terhadap ritual penyembahan mereka kepada Tuhannya? Seperti umat lain yang berasumsi kepada kita yang menyembah kepada Ka’bah. Sekalipun dijelaskan dengan cara apapun, tetap saja mereka kukuh dengan persangkaannya, dikarenakan yang mereka lihat seperti itu. Sehingga, menjadi perlu bagi kemanusiaan untuk dapat memahami segala sesuatu secara benar yang hakiki agar tidak tersesat, atau malah mudah menganggap sesat umat lain.
Tetapi, sekalipun demikian kita tak dapat memungkiri adanya kekuatan-kekuatan (energi-energi) yang disebut sebagai ruh pada setiap unsur materi pada setiap benda atau segala sesuatu, sebagai qudrat dan iradat (energi bawaan) yang diberikan Allah kepada setiap segala sesuatu yang diciptakan-Nya di semesta alam. Masih banyak sekali, tak terhitung, segala sesuatu yang merupakan misteri di alam raya ini menunggu untuk diketahui dan dipahami oleh kemanusiaan.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (pengetahuan) seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para malaikat lalu berfirman ; sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar! (QS 2:31)
Jika terjadi penyimpangan pada ajaran-ajaran agama yang diwariskan bapak-bapak mereka (yang berasal dari Adam), adalah wajar saja dapat terjadi. Karena di masa sekarang ini saja, setelah 1500 tahun ditinggal nabi Muhammad, ajaran Islam yang telah beliau wariskan telah terpecah menjadi banyak golongan. Belum lagi seperti yang terjadi pada agama-agama lainnya yang sesungguhnya berasal dari satu sumber, dan kemudian terpecah-pecah menjadi beberapa agama. Jika telah memahami hal ini, maka insya Allah, kita tak akan terjebak kepada yang ikut serta gampang menyalahkan atau menganggap sesat umat atau golongan lain selain dirinya. Cukuplah kita mengambilnya sebagai pelajaran, pengetahuan, ataupun petunjuk yang dapat bermanfaat bagi kehidupan kita ke depan.
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Hidup dan mati kemudian dibangkitkan adalah seperti keadaan orang yang setelah lelahnya aktivitas seharian kemudian tidur dan bangun kembali esok harinya. Itu berada dalam skala periode kehidupan didunia, yaitu dari lahir hingga  matinya. Maka berapa kali kita mengalami tidur dan bangun?
“Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 41:39)
Begitupun pada hidup, mati dan dibangkitkan dalam skala periode siklus kehidupan semesta alam ini, dari semenjak diciptakan hingga kiamat (qubra)-nya. Maka kehidupan dan kematian serta dibangkitkannya pun tentu tak terhitung. Yaitu mengalami, dari mulai dilahirkan, mati dan  dibangkitkan hingga harus mengalami hari-hari pembalasan (surga atau neraka)-nya pun adalah masa-masa selama masih adanya langit dan bumi. Seperti rerumputan yang mengering dan mati di musim kemarau, maka setelah datangnya musim hujan, menjadi hidup serta tumbuh subur menghijau kembali.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Begitulah kemanusiaan selalu diingatkan Allah tentang perjalanan jiwa yang panjang dan berulang-ulang, dari mulai sebagai yang belum dapat disebut (QS 76:1) sampai kepada dibangkitkan menjadi kemanusiaan kembali dan mengalami kembali hari-hari pembalasan-nya sebagai kehidupannya di setiap alam-alamnya yang silih berganti. Begitu berulang-ulang sampai pada waktu yang telah menjadi ketetapan-Nya (Kiamat Qubra), untuk kembali pulang kepada Dia Yang Maha Tunggal.
Alam Pembalasan
Seperti yang telah diulas sebelumnya pada bagian pertama keimanan terhadap Hari Akhir dan bagian keempat Lahir & Bathin. Menjadi terpisah-pisah ulasannya dan tersebar pada bab-bab ulasan lainya, dikarenakan hal ini untuk memudahkan penyajian agar saling berhubungan dengan ulasan lainnya yang berkaitan dengan perjalanan jiwa-jiwa kemanusiaan.
Perjalanan jiwa yang sesungguhnya mengalami kehidupan di alam-alam yang bertahap-tahap sesuai tingkatannya. Seperti layaknya kehidupan di dunia yang mengalami masa sebagai bayi, meningkat ke masa balita, kemudian masa kanak-kanak, begitu seterusnya dengan alam (suasana)-nya masing-masing yang berbeda.
Selama di alam dunia, alam-alam yang akan dialami jiwa-jiwa kemanusiaan memiliki tabir (hijab)-nya yang membuat batas sebagai pemisahnya, sehingga tak dapat ditembus oleh mata lahir. Hanya dengan mata bathin yang telah dibukakan oleh Allah sajalah, yang melalui petunjuk-Nya maka menjadi terlihat nyata. Sayangnya, selama di alam dunia, bukanlah hal yang mudah untuk membuka hijab-hijab tersebut, sehingga mata bathin dapat melihat seluruh alam secara terang dan nyata. Kuatnya materi menarik perhatian jiwa akibat hawa nafsu (ego)-nya semakin menutupi dan menjadi tabir-tabir (hijab-hijab) menjadi berlapis-lapis, serta menimbulkan penyakit-penyakit hati yang amat menyita perhatian jiwa hanya kepada materi dunia sajalah sebagai yang menghalangi pandangan mata bathin.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”  (QS 15:39)
Ayat ini adalah sebuah peringatan bagi jiwa-jiwa kemanusiaan agar berhati-hati dalam setiap menginginkan dan memandang segala yang indah. Jangan sampai keindahan tersebut ternyata hanyalah sebagai pembungkus keburukan yang berada di dalam atau di balik-nya, yang membuat penyesalan di kemudian hari. Apalagi, bila hawa nafsu (ego)-nya telah ikut pula mulai ikut bermain, yaitu rasa ketergesa-gesaan ingin segera meraihnya.
Seperti kita melihat seorang anak kecil yang merengek-rengek meminta apa yang dinginkannya, padahal kita mengetahui bahwa dia benar-benar tak memerlukannya atau malah akan membahayakan dirinya, kelak. Tentu kita akan menilai, betapa bodohnya anak itu. Namun, karena ketidak tahuannya, karena kebodohannya dan karena hawa nafsunya dia tetap kuat ingin mendapatkannya. Menahan rasa keinginan yang kuat (hawa nafsu) menjadi tolak ukur bagi orang lain dalam menilai kita. Menahan rasa keinginan yang kuat (hawa nafsu) juga adalah bentuk kesabaran, agar dapat memiliki waktu untuk berpikir secara matang dan lebih bertanggung jawab. Menahan rasa keinginan yang kuat (hawa nafsu) pun sebagai yang melatih jiwa untuk selalu merasa dekat kepada Tuhannya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia, niscaya di akhirat akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (kebenaran).”  (QS 17:72)
Dan seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, bahwa segala yang yang kita terima, baik itu adalah sebagai rahmat anugerah kebaikan maupun keburukan, ternyata adalah amanat yang perlu dipertanggung jawabkan pada hari-hari kemudian. Bukan hanya kebaikan yang perlu dikelola secara bertanggung jawab sebagai amanat, namun keburukan yang diterima-pun perlu dikelola secara baik dan benar agar keburukan tersebut tak menciptakan keburukan-keburukan baru lainnya sebagai yang akan datang pula, kelak di kemudian hari di dalam hari pembalasan-nya.
Tabir-tabir hijab yang menutupi mata hati kemanusiaan dari memandang hakikat segala sesuatu kehidupan yang berada di semesta (seluruh) alam ini, adalah karena terhanyutnya hati oleh keinginan hawa nafsu materi yang bersifat keduniaan. Hatinya sibuk hanya kepada hal-hal kehidupan dunianya saja, dan selalu mengejar untuk dapat memenuhi kebutuhan dunianya saja, sehingga dapat saja tak menyadari telah terperosok kepada amal perbuatan yang seharusnya tak dilakukakannya. Bila hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka hati akan semakin keras membatu, menimbulkan penyakit-penyakit dalam hati atau jiwa-nya dan pada akhirnya merembet kepada penyakit-penyakit di tubuh atau jasadnya tanpa terasa lagi sebagai balasan.
Begitulah akhirat sebagai alam-alam setelah kehidupan di alam dunia menjadi terhalang dari pandangan mata bathin kemanusiaan selama di alam dunia.
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.(QS 22:46)
Penyebab utama hati yang buta adalah jiwa yang sibuk dan terhanyut pada kehidupan dunia saja, lupa akan amanat-nya, yaitu  perjanjian dan kesaksian-nya yang menjadikannya khalifah, serta sebagai wakil-Nya di muka bumi yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di muka bumi yang juga merupakan rahmat-Nya. Rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.”  (QS 33:72)
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab : betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”  (QS 7:172)
Kehidupan dunia yang dapat menjadikan jiwanya sibuk serta hanyut, sungguh berakibat menjadikan dirinya tidak hanya lalai, bahkan lupa kepada kehidupan di hari kemudian-nya, yaitu alam-alam lain dalam perjalanan panjang kehidupan jiwanya menuju tujuan utamanya kembali pulang kepada Tuhannya Yang Maha Tunggal. Seakan, merasa tak memikul amanat dari Tuhannya, hanya diri dan keluarganya saja yang menjadi perhatian utamanya, dan tidak peka lagi terhadap sekitarnya.
Sungguh alam dunia ini adalah perhiasan yang memukau dan menghanyutkan, juga bagaikan permainan yang dapat menyita waktu dan perhatian jiwa melupakan tujuan utama diciptakannya kemanusiaan oleh Tuhannya. Begitulah tabir (hijab) dalam kehidupan di alam dunia yang menutupi hati dan jiwa hanya terpaku tak menyadari lagi kehidupan-kehidupan di akhirat, kelak.
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (durhaka) terhadap Tuhan-mu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)-mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu. Bukan durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari pembalasan.” (QS 82:6-9)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang akhirat adalah lalai.” (QS 30:7)
Sungguh, perjalanan kehidupan adalah masih panjang, masih melalui banyak alam lagi, kemudian mengalaminya terus berulang-ulang sebagai usaha pembersihan dari kelalaian yang menyebabkan kekotoran untuk dimurnikan kesuciannya agar dapat kembali pulang kepada Tuhannya Yang Maha Tunggal. Usaha pembersihan atau pensucian jiwa melalui kehidupan yang berulang-ulang inilah yang terjadi pada setiap diri kemanusiaan di alam pembalasan. Lahir, hidup, mati, dan dibangkitkan terus berulang-berulang. Dan hanya yang telah mencapai murni kesuciannya yang dapat langsung kembali kepada Tuhan Yang Maha Suci dan Yang Maha Tunggal.
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”       (QS 29:19)
Bila diri-diri kemanusiaan yang mengalami kehidupan sekarang, di dunia, tentu itu adalah sedang mengalami pembersihan atau pembalasan sebagai pertanggung jawaban dari amal perbuatan di kehidupan sebelumnya yang masih kotor. Maka, apabila pada kehidupan ini pun masih berkutat pada kekotoran, maka tentu akan mengalami terus kembali pembalasannya untuk membersihkannya. Inilah yang disebut perjalanan panjang jiwa-jiwa kemanusiaan.
Adakah, bila telah menyadari dan memahami hal ini, kemanusiaan masih berani menolak dan mengingkarinya dengan kehidupan yang menghanyutkan dan melenakan jiwanya?
Tentu semua umat muslim percaya bahwa alam kubur sebagai alam penantian menunggu kebangkitan, maka jelas itu sebuah bukti ada kehidupan di alam kubur. Dan setelah melewati alam kubur, yaitu kebangkitan, maka ada lagi alam selanjutnya yang harus dilalui, yaitu alam akhirat. Dan banyak ayat-ayat Al Qur’an yang memberitakan tentang kehidupan di alam akhirat selain kehidupan di alam kubur dan alam dunia.
Kehidupan di alam-alam tersebut, yaitu dari mulai kehidupan di masa sekarang yang dibilang kehidupan alam dunia,  kehidupan alam kubur (barzakh), dan kehidupan alam akhirat adalah merupakan bagian pula dari hari-hari agama (yawmid-diyn) Allah. Dimana Allah sebagai penguasanya.
“Yang menguasai hari-hari agama.”  (QS 1:4)
Yaitu hari-hari atau masa-masa yang dinaungi agama (aturan jalan hidup), tidak hanya dimaknai sebagai hari pembalasan, hari akhirat, hari kemudian, melainkan hari-hari di kehidupan dunia pun adalah termasuk di dalamnya. Karena jelas ayat tersebut menyebutkan hari-hari yang dinaungi agama, dan Allah sebagai penguasanya, seperti juga layaknya kehidupan di dunia. Sebenarnya ini sempat diurai ringkas di bab keimanan kepada hari akhir.
Pemahaman sebelumnya, bahwa surga dan neraka adalah alam baru atau tempat baru setelah hari kiamat, dimana alam tempat pembalasan terhadap amal perbuatan semasa hidup di dunia sebelumnya, adalah pemahaman yang mengkungkung manusia pada keterbatasan harapan yang lebih memberatkannya kepada keputus asaan. Tiada bersemangat lagi menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat dari Allah yang sesungguhnya harus ditebarkan merata kepada sesama makhluk Allah, apapun itu.
Balasan yang terbawa pada kehidupan selanjutnya tersebut, seperti uraian sebelumnya, berupa suasana rasa nikmat atau rasa sengsara yang menempel terus mengikutinya sebagai ketetapan dari-Nya. Tidak peduli apakah terlihat bagi orang lainnya mengalami hidup mewah dan megah, akan tetapi rasa bathin-nyalah yang dirasakan jiwanya, dan hanya dirinya sendirilah yang merasakannya, bukanlah orang lain. Sedangkan kemewahan serta kemegahan kehidupannya pun sebenarnya adalah balasan pula yang dibawa dari kehidupan sebelumnya, dan begitu pula pada kesengsaraannya.
Kehidupan di alam-alam tersebut pun, semuanya, sebenarnya, sekarang pun sedang berlangsung di alam dunia ini pula, bahkan telah sejak lama berlangsungnya, di dalam alam semesta ini pula. Hanya karena keterbatasan mata jasad kita saja yang menjadikannya tak dapat melihat keberlangsungan kehidupan tersebut. Bila Allah menghendaki seseorang dapat melihatnya, maka bukan tak mungkin dia akan melihat kehidupan di alam-alam  tersebut.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Maka jelas sekali ayat ini menegaskan bahwa hari kemudian (akhirat) pun sedang berlangsung, karena hari-hari itu berlangsung selama masih adanya langit dan bumi. Bukan malah setelah hancurnya langit dan bumi.
Pemahaman sebelumnya tentang kehidupan di alam-alam tersebut menjadi bias, adalah karena disebabkan tentang pemahaman hari akhir (kiamat) yang salah persepsi. Sebenarnya makna kematian dan hari akhir telah sempat pula diurai pada bab keimanan sebelumnya.
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)
Itu adalah merupakan siklus besar kehidupan semesta alam. Sedangkan siklus kecilnya adalah, mengalami hidup dan mati serta dibangkitkan yang tidak hanya sekali (QS 2:28) dan mengalami hari pembalasan selama masih adanya langit dan bumi (QS 11:106-108), sebelum hancur lebur atau kiamat qubra. Layaknya mengalami tidur dan bangun beberapa kali dalam hidupnya.
Bila hari akhir hanya dipahami sebagai hari kiamat qubra saja, jelas kehidupan di alam dunia menjadi hanya satu kali saja, kemudian hanya menunggu hancurnya bumi dan langit dan segala isinya, baru kemudian dibangkitkan dari alam kubur secara bersama-sama.
Akan tetapi, jika memahami hari akhir adalah tidak hanya kiamat qubra saja, melainkan akhir dari sesuatu, misalnya akhir kehidupan yaitu kematian, maka akhiratnya adalah kehidupan di alam kubur, kemudian menunggu kebangkitan sebagai hari akhir dari kehidupan alam kubur, dilanjutkan setelah kebangkitan adalah mengalami kehidupan di hari pembalasan, yang semuanya itu adalah termasuk dalam hari kemudian (hari selanjutnya).
Hidup dan mati kemudian dibangkitkan adalah seperti keadaan orang yang setelah lelahnya aktivitas seharian kemudian tidur dan bangun kembali esok harinya. Itu berada dalam skala periode kehidupan didunia, yaitu dari lahir hingga  matinya. Maka berapa kali kita mengalami tidur dan bangun?
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Begitupun pada hidup, mati dan dibangkitkan dalam skala periode siklus kehidupan semesta alam ini, dari semenjak diciptakan hingga kiamat (qubra)-nya. Maka kehidupan dan kematian serta dibangkitkannya pun tentu tak terhitung. Yaitu mengalami, dari mulai dilahirkan, mati dan  dibangkitkan hingga hari pembalasan (surga atau neraka)-nya pun adalah masa-masa selama masih adanya langit dan bumi (QS 11:106-108). Seperti rerumputan yang mati di musim kemarau, maka setelah datangnya musim hujan, menjadi tumbuh subur menghijau kembali.
“Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 41:39)
Bukan hanya setelah kematian maka baru kita akan menghadapi hari pembalasan, di kehidupan dunia pun ada hari pembalasan-nya. Sebagai makhluk, segala sesuatu (baik yang lahir maupun yang bathin) akan tersentuh kematian (akhir), begitu pula pada kondisi atau keadaan pun memiliki akhir. Kesedihan yang diakhiri kebahagiaan, atau sebaliknya. Kekurangan diakhiri oleh kecukupan, juga begitupun sebaliknya. Maka kepada amal perbuatan pun memiliki akhirnya, seperti pekerjaan atau berdagang maka setelah hari akhirnya, akan dilanjutkan pula dengan hari pembalasan yang merupakan akibat dari amal perbuatan sebagai sebab-sebab terjadinya kondisi atau keadaan sebelumnya.
Allah menciptakan Alam Semesta ini, sebagai tempat, atau media, atau juga wadah bagi segala makhluk-Nya, termasuk alam akhirat, alam kubur, dan alam surga dan neraka. Semua ya berada di alam ini, alam yang sekarang kita tempati.
Layaknya jasad manusia sebagai wadah, yang ternyata adalah pula merupakan susunan berstruktur dari milyaran sel-sel yang juga adalah makhluk ciptaan-Nya. Sehingga, bila kita telah sampai kepada pemahaman tunggal, bahwa segala sesuatu, dari yang terkecil atau mikro partikel, kemudian materi, benda-benda yang disebut mati atau yang disebut hidup yang memiliki senyawa yang kompleks dan rumit, kemudian bumi dan bintang-bintang atau bahkan koloninya yang lebih besar lagi seperti galaksi-galaksi kumpulan milyaran bintang, hingga kepada yang terbesar yaitu alam semesta (jagad raya) ini, ternyata memiliki kemiripan atau kesamaan arah gerak hidup sebagai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu sistem tunggal, kehendak Dia Yang Maha Tunggal (sunathullah). Awal dan akhirnya pun adalah kepada Dia Yang Maha Tunggal.
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)
Dengan demikian, menjadi pentingkah surga untuk dituju dan neraka untuk dihindari? Jika tujuannya adalah Dia, mengapa pula kita disibukkan untuk menghindari neraka dan terlena akan kenikmatan surga bila jalan telah terang? Hanya mereka yang buta akan tujuan akhir yang sejati sajalah yang dapat tersesat akibat terlena, baik karena tersesat kepada neraka maupun hendak menggapai nikmatnya surga. Padahal telah terang jalan menuju tujuan akhir yang sejati, yaitu kembali kepada Dia Yang Maha Tunggal, ilayhi raji’un.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)
Adalah fungsi kesadaran manusia yang membuatnya tertarik memahami yang lahir (nyata), berinteraksi dan saling mengambil manfaat darinya. Kemudian meningkat kepada kesadaran untuk pula dapat memahami makna dari yang lahir (nyata), yaitu bathin
Di saat itulah diri kemanusiaannya, sekalipun pada masa-masa perkembangan kejiwaan ini, yaitu hati dan akalnya sedang pula terkontaminasi oleh keinginan dan kebutuhan, merasa tertuntut pula untuk dapat memahami makna-makna yang bathin yang sesungguhnya, dapat saja atau malah akan menimbulkan kontradiksi dengan keinginan dan kebutuhannya. Sehingga kini, telah tercipta dua kutub kekuatan tarik menarik yang sangat akan mempengaruhi kejiwaan serta arah kehidupannya.
Di saat itu pulalah terciptanya keragaman pada setiap diri kemanusiaan, yang menimbulkan berbagai macam perbedaan. Yang masing-masingnya membawa kebenaran, sekalipun masing-masingnya merasa dirinyalah yang benar dan yang lain adalah salah, disebabkan sudut pandang yang mendasari kebenaran merekapun yang beraneka ragam. Akan tetapi, justru, disitulah bukti keaneka ragaman kebenaran di dalam kebenaran tunggal. Sebagai bukti ke-akbar-an Dia Yang Maha Tunggal.
Jangankan kebenarannya, diri-dirinya pun beraneka ragam. Ya, diri-diri yang akbar didalam wujud kemanusiaan. Yang pada satu diri saja kita takkan pernah mampu menentukan berapa jumlah sel yang membangun struktur tubuhnya, maka ragam kerja dan fungsinya pun berbeda-beda satu sama lainnya.
Semakin banyak kesadaran-kesadaran yang mengarahkan pemahaman terhadap segala sesuatu yang ditemuinya, maka mata hatinya menjadi hidup dalam menangkap setiap makna yang memberikan hikmah yang tiada ternilai. Hati yang hidup adalah kehidupan yang sempurna sebagai sejatinya kehidupan, karena tiada lagi rasa takut, gelisah, bingung, dan tak tahu arah. Sekalipun masih banyak yang belum diketahuinya secara lahir dan bathin, namun pemahamannya menyatakan keyakinannya untuk tetap dalam keberserah dirian (islam)-nya dengan murni dan ikhlas tertuju hanya semata kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal.
Ketika kehidupan di dunia, setiap diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan keburukan seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam akhirat kelak, setiap diri yang mendapatkan balasan kebaikan-nya (di dalam surga) akan terancam sedikit nerakanya pula dari keburukan seberat zarrah akibat kelalaiannya yang diperbuat sebelumnya. Dan setiap diri yang mendapat keburukan-nya (di dalam neraka), mendapat harapan pula merasakan sedikit surganya dari kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha Adil lagi tidak lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (titik), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (titik), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Di alam dunia, bukanlah hal yang tidak mungkin jiwa kemanusiaan dapat memandang dan memahami alam-alam lainnya selain alam dunianya, asalkan dirinya mau dan dapat mensucikan hatinya dari kekotoran-kekotoran yang menyebabkan tabir-tabir hijab yang menghalangi pandangan mata bathin-nya. Sungguh kekotoran-kekotoran tersebut dapat merugikan dirinya, selain menimbulkan penyakit-penyakit hati, juga mengakibatkan penyakit-penyakit pada jasad tubuh kemanusiaannya, terlebih menyebabkan kebodohan akal dan kesadaran jiwa dalam memahami kehidupan panjang-nya yang masih akan dilaluinya pada masa-masa yang akan datang. Yang lebih utama, dan merupakan tujuan dari segala tujuan, adalah menyadari dan memahami sebenarnya jiwa kemanusiaan kita menjadi hadir dan datang ke alam kehidupan dunia ini dari tempat yang paling mulia dan paling tinggi, yaitu dari Allah SWT. Maka dengan menyadari dan memahami asal keberadaan tersebut adalah mutlak pula kita memahami dan menyadari tempat kembali-nya. Ilayihi raji’un.
Begitulah cahaya Allah menerangi dan menjadi nyata serta jelas hakikatnya bagi pandangan mata bathin yang telah suci bersih kepada alam-alam kemudian yang akan dihadapinya sebagai perjalanan panjang jiwa-nya. Dan Dia pulalah yang menjelaskan hakikat bathin dari segala sesuatu yang lahir (nyata) dan yang masih ghaib.
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”  (QS 2:269)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Kehidupan berikutnya, di alam pembalasan, sebagai yang mengalami hari-hari pembalasan, digambarkan sebagai kehidupan akhirat dengan surga dan nerakanya, adalah merupakan suasana bathin berupa nikmat atau siksa bagi mereka yang berada di dalamnya. Sebenarnya, di dunia sekarang inipun, kita mengalami yang terkadang berupa nikmat dan terkadang pula berupa siksa. Hanya saja, disebutkan seperti dalam firmannya (QS 11:106-108), bahwa kekekalannya-lah yang lebih ditegaskan dalam membedakan kehidupan di dunia dengan di akhirat.
Akan tetapi kekekalan hari kemudian pun yang adalah merupakan ciptaan-Nya, yang pasti memiliki umur atau waktu, atau sementara sifat dan waktunya, dan hanya Dia-lah yang kekal serta berkuasa juga pada kehidupan baik di dunia, di akhirat, serta kehidupan kemudiannya lagi, bila ada. Dan apa-apa yang ditunjukkan-Nya, melalui kejadian-kejadian di alam ini, mengarahkan pemahaman, bahwa kehidupan ini akan terus berlanjut sebagai pengulangan atau siklus penciptaan-Nya.
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”
(QS 21:104)
Alam Malakut
Inilah alam Kepatuhan, alam yang dimana para penghuni-nya adalah jama’ah yang selalu bertekun dalam bertasbih mensucikan nama-Nya, yang menjaga diri-diri mereka dari amal perbuatan yang menyesatkan. Melalui energi-energi yang dikeluarkan mereka, para jama’ah tersebut-lah, Allah dengan kuasa dan kehendak (qudrat dan iradat)-Nya menjadikan semesta alam ini dalam ketetapan-Nya sebagai yang terus terjaga keseimbangannya.
“Dan kamu akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling Arasy bertasbih sambil memuji Tuhannya, dan diberi putusan diantara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan : Segala Puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS 39:75)
Dalam bentuk bathin, adalah seisi alam ini dari apa-apa yang tidak diketahui kemanusiaan, mereka sebagai yang selalu tunduk patuh dan bertasbih sambil memuji nama-Nya tanpa pernah berhenti (QS 17:44, 24:41, 61:1). Mereka itulah aparat Allah, dan jiwa-jiwa suci yang telah memiliki kedekatan dengan Tuhannya.
Dalam bentuk lahir, di alam dunia, adalah jiwa-jiwa yang selalu bertasbih mensucikan nama-Nya pada petang dan pagi hari dalam kesunyian dan kesendiriannya, serta menjaga diri mereka dari amal perbuatan yang menyesatkan, selalu pada jalan lurus-Nya, ingat kepada-Nya, serta mensucikan setiap gerak amal perbuatannya.
Hanya kepada merekalah alam kepatuhan ini dapat dirasakan, sebab alam ini adalah alam bathin bagi jiwa-jiwa dan segala sesuatu yang telah suci dari selain Dia sebagai sumber dan tujuan-nya. Sungguh, karena Dia Yang Zhahir (Tampak) di dalam ketersembunyian-Nya (Yang Bathin), maka Dia menjadi tampak dan terlihat oleh mata bathin mereka yang hati-nya telah suci dan bersih dari selain-Nya.
Sekali lagi, pembersihan atau pensucian hati sungguh amat menentukan perjalanan panjang jiwa untuk mengalami kehidupan di alam ini. Alam ini adalah alam bagi jiwa-jiwa yang berusaha selalu menjaga kedekatan dirinya dengan Tuhannya, mensucikan jasad dan jiwa-nya dari segala sesuatu selain Tuhannya. Dimana kebersihan dan kesucian jasad dan jiwa sebagai satu kesatuan yang menentukan setiap gerak amal perbuatan, sehingga amat menentukan pula perjalanan hari-hari kemudian-nya sebagai takdir yang melekat. Seperti yang telah banyak diulas sebelumnya, sebagai energi bawaan (qudrat dan iradat) yang terus terbawa dalam perjalanan jiwa-nya di alam-alam selanjutnya selama masih belum dibersihkan atau disucikan.
Pada kebangkitan-nyalah seharusnya jiwa mengambil kesempatan tersebut untuk membersihkan atau mensucikan, tanpa menambah atau mengotori jiwanya kembali dengan dosa-dosa baru. Sehingga perjalanannya di alam-alam kemudiannya tentu akan semakin ringan dan mudah dengan segala nikmat yang dituainya dari amal perbuatan di kehidupan-kehidupan sebelumnya.
Kehidupan kita saat ini adalah kebangkitan dari kehidupan-kehidupan sebelumnya untuk mengalami balasan demi pembersihan dan pensucian jiwa, maka dengan begitu janganlah lagi memasukkan kembali kotoran-kotoran yang sedang disucikan. Apalah gunanya mencuci pakaian dengan menggunakan air yang kotor?!
Yang berada dalam alam kepatuhan ini, hanya keikhlasan. Tanpa ada keinginan sedikitpun selain hanya tasbih, tahmid, tahlil dan takbir kepada-Nya, karena hanya Dia-lah sumber kekuatan segala perbuatan, termasuk kepatuhan  tersebut sendiri. Kekuatan energi yang keluar dari kalimat-kalimat tersebut pulalah yang sesungguhnya menggerakkan keberlangsungan kehidupan semesta alam ini tanpa pernah berhenti sampai pada waktu yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Alam ini adalah alam keheningan, dimana kesunyian dan kesendirian dalam ketenangan, ketentraman dan kedamaian. Kedekatan jiwa dengan Tuhannya adalah bagaikan berada di dalam halaman rumah-Nya, tinggallah di situ sebagai yang menunggu pintu sampai waktunya dibukakan untuk dapat kembali pulang kepada Dia Yang Maha Tunggal.
Bagi jiwa-jiwa yang tenang dan terkendali, adalah jiwa yang ikut bersama ruh-nya berada di alam ini dikarenakan telah terbiasa di masa-masa sebelumnya selalu yang bersama dengan ruh-nya sebagai yang tenang dan terkendali. Sebagai yang ikut bertasbih dan memuji nama-Nya dalam lingkaran jama’ah di sekeliling ‘arasy, alam ketunggalan bersama Tuhan-nya. Jadi, alam malakut ini adalah alam yang paling dekat dengan alam tunggal tempat Yang Maha Tunggal, dimana semua dan segala sesuatu berasal dan kelak, bila telah tiba waktu dan atas kehendak-Nya, kan kembali pulang kepada-Nya.
Disebut alam malakut, karena ini adalah alamnya para malaikat Allah yang tunduk patuh atau berserah diri, mereka yang tidak patuh disebut-Nya iblis (QS 2:34).
Lihatlah alam raya ini, langit dengan bintang-bintang yang jumlahnya tak terhitung dalam suatu susunan galaksi yang tak terhitung pula jumlahnya, sistem planeter pada suatu bintang, seperti sistem tata surya pada matahari kita, yang memliliki beberapa planet termasuk bumi kita. Keteraturan sistem peredarannya yang kesemuanya demi kelangsungan kehidupan kemanusiaan di bumi. Dan lihat serta sadari pula, keteraturan dan kepatuhan sel-sel penyusun dan pembentuk organ-organ di dalam tubuh kita, yang bukan kitalah sesungguhnya yang mengatur sistem kerja mereka. Dari mulai perkembang biakannya hingga pekerjaannya yang secara sistematis demi kelangsungan kehidupan kita.
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap’, masing-masing dua, tiga dan empat. Allah menmbahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”     (QS 35:1)
Itulah alam kepatuhan (malakut), yang sesungguhnya dapat kita sadari. Maka renungkanlah, bila kepada jiwa yang tak mau tunduk patuh atau berserah diri (islam) pada aturan serta hukum-Nya, tentu sesungguhnya dia malah sedang mengahancurkan dirinya sendiri. Dalam tindakan ekstrim, seperti mereka yang putus asa hendak bunuh diri dengan meminum racun. Atau yang lebih halus dan tak terasa sebagai kesalahan bagi sebagian orang, mereka yang terjerat narkoba dan minuman keras (alkohol), secara perlahan-lahan sesungguhnya mereka sedang menghancurkan dirinya sendiri. Tidak hanya jasad, bahkan jiwanya pun sebagai yang ikut dirusaknya. Atau yang jauh lebih halus lagi, seperti para perokok, juga mereka yang amat rakus terhadap makan-makanan tanpa memperhitungkan kesehatan bagi tubuhnya.
Begitulah Allah menyebut mereka, para malaikat-Nya yang tidak tunduk patuh demi membantu kelangsungan kehidupan kemanusiaan, yang sesungguhnya Dia menunjuk hal tersebut kepada jiwa-jiwa kemanusiaan sendirilah yang sebenarnya tidak tunduk patuh atau berserah diri dari aturan atau hukum-Nya sebagai jalan lurus-Nya.
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.” (QS 31:20)
Mereka yang gerak hidupnya mengorientasikan pada rasa keberserah dirian (islam) semata kepada Allah SWT, serta menyadari fitrah kemanusiaannya yang sebagai perwujudan Tuhannya di alam, yaitu sebagai rahmat bagi semesta alam, adalah yang sesungguhnya mewujudkan pernyataan “..... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Ya, pernyataan yang tidak hanya sekedar diucapkan dalam setiap shalatnya, melainkan juga dinyatakan dan diwujudkan dalam setiap gerak hidupnya, sehingga mereka bukanlah termasuk orang-orang yang celaka dengan shalatnya, seperti peringatan dari-Nya melalui ayat di bawah ini,
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
Maka sebenarnya, bagi manusia-manusia yang telah dapat menundukkan jiwanya untuk tunduk patuh atau berserah diri adalah mereka yang telah berada di alam malakut ini. Yaitu alam yang penuh cahaya terang benderang dan memberi pengetahuan atau petunjuk, serta jauh dari gelap yang menyesatkan.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Merekalah yang telah dapat mengelola hawa nafsunya dalam kepatuhan jalan lurus Tuhannya, segala gerak keinginanya adalah perwujudan gerak kehendak Tuhannya, segala gerak pikirnya adalah perwujudan ilmu Tuhannya, serta segala gerak langkah perbuatannya adalah perwujudan kuasa dan kasih sayang Tuhannya. Sehingga terjagalah dirinya dari bujuk rayu serta pandangan indah yang ditunjukkan hawa nafsu (iblis)-nya sendiri.
Ya, iblis yang juga merupakan malaikat pembangkang,  yang coba-coba dengan membisikkan keinginan sesat di dalam dadanya telah ditundukkannya dan kembali menjadi malaikat yang tunduk patuh seperti semula.
Tentulah kita telah memahami hal tersebut, karena pada bab sebelumnya kita sempat membahas bagaimana nabi Yusuf mengelola hawa nafsunya dengan baik dari godaan tuan wanitanya.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS 12:53)
Begitulah kita dapat mengambil hikmah tentang hawa nafsu yang mendorong keinginan-keinginan sesat dan menjerumuskan, yaitu dari penjelasan al Qur’an Surah al Baqarah ayat 34,
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka sujudlah mereka kecuali iblis, dia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
Pada bab Keimanan telah dijelaskan bahwa perintah agar sujud (tunduk patuh) tersebut hanyalah kepada para malaikat, sehingga penafsirannya adalah, malaikat yang tak mau tunduk patuh kemudian diberi nama atau sebutan iblis.
“..... Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan kepada seorangpun sebelum mengatakan, seungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya ...... (QS 2:102)
Juga bagaimana hawa nafsu mendorong, serta seakan memaksa kepada keinginan-keinginan sesat dengan bujuk rayu juga pandangan indah, seperti ditunjukkan dalam ayat berikut,
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”  (QS 15:39)
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS 7:27)
Pada bunyi kalimat, “......mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya......”, kita menafsirkannya adalah akibat yang dapat mengeluarkan kita dari anugerah nikmat Allah kepada kesulitan dan kehinaan diri yang amat memalukan.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Begitulah setelah kita menyesali akibat dari kebodohan perbuatan sendiri dalam melakukan kesalahan atau dosa. Kemanakah iblis saat kita hendak meminta pertanggungan jawab atas bujuk rayuannya ??
“Dan ketika syaitan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan : tidak ada seorangpun manusia yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu. Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat, syaitan itu balik ke belakang seraya berkata : sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu, sesungguhnya saya takut kepada Allah. Dan Allah sangat keras siksanya.” (QS 4:48)
“Dan berakatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan : sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyerumu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih.” (QS 14:22)
Alam ini adalah alam ruh, alamnya para malaikat yang tunduk patuh. Pada kemanusian, selain jasad, ada jiwa dan ruh. Jiwa atau nafs (nafsu) adalah sebagai yang cenderung disesatkan dan didorong kepada keinginan dan kebutuhan yang berlebihan oleh bayang gelap akibat cahaya yang tak dapat masuk ke dalam karena terhalang kotoran-kotoran pada hati kita. Layaknya kaca jendela yang dipenuhi kotoran sehingga cahaya matahari tak dapat masuk ke dalam rumah kita. Kotoran tersebut adalah penyakit hati, dan bayang gelap akibat cahaya yg terhalang itulah yang menggantikan cahaya yang seharusnya masuk untuk menerangi hati, namun berubah malah menggelapkan hati kita, sehingga menyesatkan jiwa dalam memahami segala sesuatu. Inilah sisi gelap kemanusiaan, si iblis penggoda dan penghasut yang merupakan malaikat pembangkang.
“...... Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.(QS 22:46)
Sementara, ruh adalah sisi terang kemanusiaan, yaitu para malaikat yang tunduk patuh dan selalu membantu kemanusiaan agar tetap pada jalan lurus-Nya, yang membawa cahaya petunjuk Tuhannya, menyuruh dan mendorong kepada kebaikan dan kebenaran. Maka bila jiwa kemanusiaan kita sebagai yang tunduk patuh, barulah kita dapat ikut merasakan hidup di alam ini.
Namun dari ketujuh alam tersebut, Allah amat menekankan pentingnya kemanusiaan dapat memperbaiki jauh lebih baik lagi kehidupan alam dunia. Seperti itulah kemanusiaan dikehendaki-Nya sebagai khalifah di muka bumi yang menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiyn.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menycikan nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Bukanlah surga yang menjadi tujuan, bila manusia dapat memenuhi kehendak-Nya. Dan bukan pula neraka sebagai balasan, bila mengingkari-Nya. Melainkan kehidupan dunia-lah yang sesungguhnya perlu diperbaiki, sebab kehidupan akhirat atau kehidupan di hari kemudian tentu akan baik dan menyenangkan bila kehidupan sebelumnya (dunia) pun telah baik dan benar. Janganlah seperti anak kecil yang masih mengharapkan hadiah berupa surga, serta diancam dengan neraka bila tak menurut apa perintah orangtua-nya, padahal sesungguhnya itu adalah demi kebaikan dirinya sendiri.
Seperti itulah orangtua kita dalam mendidik kita, dan itu adalah kebenaran, sebagaimana kebenaran yang kita pakai dalam mendidik anak-anak kita yang merupakan generasi penerus. Dan kita adalah teladan bagi mereka, maka apakah masih berani kita menyia-nyiakan kehidupan dunia ini dengan amal perbuatan yang malah akan menyulitkan diri kita sendiri, kelak di hari kemudian?
Dan pada surah al Baqarah ayat 30 di atas, amat jelas kehendak Allah untuk menjadikan khalifah di bumi (alam kehidupan dunia), yaitu kepada kemanusiaan. Manusia yang memimpin terhadap sekitarnya, memimpin keluarganya, atau bahkan hanya memimpin dirinya sendiri agar tidak menjadi yang merusak dan menumpahkan darah, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam sekitarnya, atau walau hanya pada dirinya sendiri. Begitulah makna kemanusiaan sebagai perwujudan Allah Yang Maha Tunggal di alam untuk saling menebarkan rahmat Tuhannya kepada sesamanya.
Bayangkanlah kehidupan dunia yang berjalan seperti itu, bantu-membantu, saling-nasehat menasehati, saling berbagi kelebihan, serta saling mudah dalam memaafkan, maka tentu dia telah ikut sebagai yang menciptakan surga selain bagi dirinya, juga bagi sesamanya. Begitu pulalah makna surga yang kekal selama masih adanya langit dan bumi, seperti yang dijelaskan dalam surah Hud ayat 108.
Maka, adalah diri-diri kitalah yang sesungguhnya membangun surga ataupun neraka bagi dirinya sendiri. Sedangkan bagi mereka yang telah memahami hal ini atas izin dan kehendak-Nya, maka bukan surga sebagai tujuan dan neraka sebagai yang dihindarinya, melainkan kembali pulang kepada DIA Yang Maha Tunggal dalam keadaan suci, sebagaimana layaknya dia berawal keluar dari-Nya dalam keadaan suci. Dan kepada DIA-lah sebagai tempat kembali, tujuan dari segala tujuan sejatinya, yang merupakan alam ke tujuh sebagai Alam Tunggal, DIA yang menguasai seluruh alam (rabbul ‘aalamiiyn) dimana segala sesuatu berasal dan akan kembali kepada-Nya. Inna lilahi wa ‘inna ilayihi raji’un.