Jumat, 31 Mei 2013

CAHAYA: MU'MIIYN

CAHAYA: MU'MIIYN: Bab VII D IRI yang b er -K EIMANAN (MUKMIN) “Katakanlah , kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (...

MU'MIIYN




Bab VII
DIRI yang ber-KEIMANAN
(MUKMIN)
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan kepada apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri (isalam) kepada-Nya.”
 (QS 2:136)
B
er-keimanan mengandung makna luas, tidak hanya selain sebagai yang percaya kepada yang diimani, yaitu Allah yang Tunggal sebagai sumber dan pencipta segala sesuatu, termasuk malaikat-malaikat yang sebagai aparat-Nya, rasul-rasul sebagai utusan-Nya, kitab-kitab sebagai petunjuk-Nya, dan hari akhir serta kadar baik dan buruk sebagai dua hal yang akan datang menemui untuk dihadapi dan diterima. Tidak hanya sekedar dipercaya, melainkan pula harus selalu menyertai niat, pikir, ucap, serta gerak dalam setiap amal perbuatan insan kemanusiaan, agar mencapai keselamatan pada saat menemui dua hal yang pasti akan hadir datang menemuinya, yaitu hari akhir dan kadar baik-buruk.
Hari akhir tidak hanya dipandang sebagai akhir atau kematian, dan kemudian tidak ada lagi kehidupan, melainkan berlanjut dengan hari kemudian dimana segala amal perbuatan sebelumnya akan dipertanggung jawabkan berikut dengan balasan sebagai buah hasil menanam di masa kehidupan sebelumnya. Keadilan-Nya ada dalam naungan ketetapan-Nya, sunathullah. Kekuasaan-Nya yang Maha bijaksana berada dalam kemurahan dan kasih sayang-Nya, rahmaanur-rahiiym. Tentu itu di alam, sehingga akbar, maka tak terhitung ketetapan-Nya, kemurahan-Nya, dan kasih sayang-Nya.
Kokohnya keimanan akan memantapkan setiap niat serta langkahnya kepada tujuannya. Menjaga dari kesalahan, perbuatan buruk, dan tersesatnya jiwa, maka kemudian Tuhannya akan selalu menunjukinya kepada keselamatan yang berupa nikmat-nikmat yang akan selalu menyertai dirinya, baik itu nikmat-nikmat kehidupan di dunia maupun nikmat-nikmat kehidupan di akhirat.
Dan yang perlu digaris bawahi, adalah dua tanda insan kemanusiaan yang telah kokoh keimanannya, yaitu, yang pertama, telah mengenal diri maka secara otomatis pula telah yakin dan mengenal Tuhan-nya beserta aparat-aparat, yaitu malaikat dan kerasulannya, yang sebelumnya gaib tidak diketahui secara nyata, kitab-kitab, hari kemudian, serta kadar baik-buruknya. Dan yang kedua, adalah telah hilangnya pengakuan dan secara otomatis menjadi mengakui. Keduanya ini berkaitan sangat erat dalam perbaikan jiwa yang pada akhirnya menciptakan akhlak yang terpuji yang keluar dari perwujudan Yang Maha Terpuji (muhammad).
Segala amal perbuatan (ibadah), di dalamnya berupa niat, pikir, ucap, dengar, serta gerak-gerak lain sebagai gerak yang disadari. Didasari dan serta disertai oleh Tuhannya, beserta aparat dan rasul-Nya, juga hari akhir dan kadar baik-buruk, sebagai yang manunggal dengan keimanan-nya, tentu akan menjaga diri (nafs)-nya dalam ketenangan yang dapat terkendali dan tidak tersesat, serta menciptakan hidup kehidupan yang sehat, bahkan menuju pada keselamatan kehidupan di dunia dan di akhirat, sebagai jalan lurus-Nya karena telah kokohnya keimanan.
Keimanan yang telah kokoh adalah juga merupakan pondasi yang mendasari jiwa setiap insan kemanusiaan dalam mengarungi hidup kehidupan ini dengan kemuliaan akhlak-nya menuju kepada keselamatan yang sejati. Yaitu selamat di dunia dan di akhirat. Dengan kokohnya keimanan pula, maka pintu-pintu yang sebelumnya tertutup, kini akan terbuka satu per satu sebagai rahmat petunjuk dari Tuhannya. Pintu-pintu apa sajakah itu?
Kelak, dengan izin serta kehendak Allah, akan terbuka sebagai pemahaman yang merupakan anugerah rahmat petunjuk dari-Nya melalui uraian-uraian selanjutnya.
Hilangnya Pengakuan (Ego)
Pengakuan, maksudnya yaitu, mengaku-ngaku apapun yang sesungguhnya adalah bukan miliknya, sekalipun yang telah dianugerahkan kepadanya. Anugerah itu hanya merupakan titipan atau amanah yang masih perlu dipertanggung jawabkan pengelolaannya, kelak. Pengakuan, yaitu aku (ego) yang menjadi lebih dominan daripada Aku (Allah) sebagai Tuhan pemilik dan penguasa apa-apa yang berada di langit dan di bumi serta yang berada diantara keduanya (Allahu rabbul ‘aalamiiyn).
Iman, dengan iman-lah setiap jiwa menjadi memiliki kekuatan-kekuatannya untuk mencapai apa-apa yang ditujunya akan diraih sesuai niat diawalnya. Iman itu pulalah yang menemani dan menjaganya dari setiap godaan atau bujukan yang dapat menyesatkannya dan menyebabkan tidak sampai kepada tujuannya.
Dengan imannya, dirinya berharap mendapatkan perlindungan dari Tuhannya agar terlepas atau terhindar dari kesulitan dalam setiap amal perbuatan yang sesungguhnya pula selalu dibayang-bayangi oleh bujuk rayu dan godaan yang dapat menjerumuskan.  Jadi, dalam amal perbuatan yang terpuji sekalipun, diperingatkan kepada dirinya untuk berlindung kepada Tuhannya dahulu agar tidak tersesat. Karena kesesatan yang dikemas iblis dengan keindahan penampakan yang dibayangkan diri (nafs)-nya, akan membawanya terjerumus.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim)”. (QS 6:162-163)
Ibadah shalat, sebagai ibadah yang lima kali dalam sehari, dimana harus suci jasad, pakaian, dan tempat-nya, yaitu selain suci dari najis kekotoran yang lahir (nyata terlihat), maka harus pula suci dari najis kekotoran yang bathin, yaitu  pengakuan yang mengaku-ngaku sebagai pemilik jasad, pakaian, dan tempat. Itulah syarat sah-nya shalat.
Jasadnya yang diakui adalah sebagai milik-nya, pakaian pun diakui sebagai milik-nya yang telah dibeli dengan usahanya, serta tempat atau rumah pun diakui sebagai milik-nya yang dibeli dari hasil menabungnya selama bertahun-tahun. Sekalipun dia menyadari bahwa semua itu dia dapatkan dari rizki yang dianugerahkan Allah kepadanya, tetapi diakui kepemilikannya olehnya, sehingga apabila satu saja diantaranya hilang darinya maka diri atau jiwanya tidak dapat mengikhlaskannya. Dan tidaklah sah shalatnya bila unsur pengakuan tersebut menajiskan jasad, pakaian, dan tempat dalam shalatnya. Padahal, semua anugerah kepadanya itu merupakan titipan atau amanah yang harus dipertanggung jawabkannya kelak di hari akhir.
Itulah bahayanya pengakuan (ego) terhadap apa-apa yang sesungguhnya hanyalah titipan atau amanah yang dianugerahkan kepadanya untuk dikelola dengan baik dan benar, serta tidak untuk diakui kepemilikannya. Bahkan kepada jasad, jiwa, serta ruh yang ternyata milik Allah, tidak untuk diakui sebagai miliknya sendiri. Apalagi kepada harta benda, perhiasan, kendaraan, anak-istri, ladang pekerjaan, perniagaan, kekuasaan, dan lain sebagainya yang dianugerahkan kepadanya.
“...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”    (QS 38:71-72)
Tersesatnya jiwa pada setiap pengakuan tersebut diatas, akan menjadi nyata kelak, saat maut memisahkan antara jiwa-nya dan ruh-Nya dari jasad-nya. Jasad-nya terkubur dan hancur terurai kembali kepada asalnya yang dari tanah, dan ruh-Nya akan kembali pulang kepada Dia sebagai pemilik asal-nya, sedangkan bagi jiwa, yang sebelumnya tersesat, maka dia tersesat pula akibat masih penasarannya terhadap penyesatan iblis yang ternyata telah menipunya, tidak mau dan tidak rela meninggalkan apa-apa yang diakui sebagai miliknya, menjadi jiwa penasaran, gentayangan di tempat-tempat yang dahulu diakui sebagai miliknya. Di rumah tinggal-nya, di mobil atau kendaraan-nya, di tempat-nya bekerja, di pakaian-nya, atau mungkin pula di tempat-tempat yang dulu sering disinggahinya.
Dalam kisahnya, Adam As, yang telah dianugerahi kekuasaan atau kekhalifahan bahkan hingga kepada seluruh keturunannya. Dimana anugerah tersebut adalah sebagai kadar baik, akan tetapi tetap pula dibayangi dengan kelalaian berupa pengakuan yang juga merupakan keangkuhan sehingga lalai dari peringatan Tuhannya agar tidak mendekati pohon terlarang, yang menjerumuskannya keluar dari surga sebagai kadar buruk-nya. Dan Allah pun Maha Adil, maka diberikan-Nya kunci tobat sebagai pembersih-nya. Dibalik kesalahan ada kebenaran.
Bagaimana tahu kebenaran, bila tidak pernah bertemu kesalahan. Itulah pelajaran bagi orang-orang sesudahnya, termasuk kita keturunannya. Kepada anak-anak, remaja, maupun yang muda, adalah kebaikan bila diri-nya mengalami kesalahan sebagai pembelajaran di kehidupan masa yang akan datang yang lebih bertanggung jawab. Akan menjadi lain halnya, bagi mereka yang telah dikaruniai anugerah beserta pertanggung jawabannya sebagai amanah, tetapi masih saja lalai seperti di masa kanak-kanaknya. Kelalaian yang terus terbawa hingga masa tuanya sebagai sifat bawaan.
Manusia yang hanyut terbawa larut pada kehidupan dunia ini, adalah seperti anak-anak yang gemar bermain dan asyik dalam permainannya sehingga lupa akan kewajibannya seperti yang diinginkan orang tuanya untuk belajar atau mengerjakan PR sekolahnya, demi kehidupannya kelak di masa depan. Ia tak menyadari, keasyikannya dalam permainannya, telah menyia-nyiakan waktu belajarnya. Permainannya telah membuat lupa diri akan kewajiban-kewajibannya yang lebih utama daripada sebuah kesenangan palsu yang telah membuang waktunya. Di masa kanak-kanak ia telah menyia-nyiakan waktu, dan saat dewasapun ia dapat terlena oleh kehidupan dunia yang menghanyutkan. Inilah yang membuat manusia sungguh dalam kerugian.
Demi masa (waktu). Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”  (QS 103:1-3)
Kebaikan dan keburukan adalah pasangan yang harus diterima bagi mereka sebagai pertanggung jawaban, dan sebagai hasil yang dituai dari apa yang ditanam sebelumnya, serta bagi mereka yang hendak mengkokohkan keimanan-nya kembali, demi suatu tujuan dari apa-apa yang telah diyakininya. Toh, sekuat apapun diri-nya, takkan dapat menolak hal tersebut yang sudah merupakan kodrat atau kehendak Dia sebagai Yang Maha Pencipta dan Maha Pemelihara. Segala sesuatu, tiada yang lepas dari kuasa dan pemeliharaan-Nya, sekecil dan sebesar apapun itu.
Bukan Dia tidak mengetahui akan terjadi kelalaian pada diri Adam, dan bukan pula Dia kejam mengeluarkan Adam dari surga, akan tetapi memang adalah ketetapan-Nya. Bahwa seperti itulah fitrah kemanusiaan, dibayangi kelalaian, dan merupakan ketetapan-Nya jugalah kehidupan kemanusiaan adalah di bumi sebagai sarana perwujudan segala sifat-Nya di alam.
Bagi jiwa-jiwa yang tenang terkendali manunggal bersama kehendak Tuhannya, yaitu yang tidak tersesat, maka dia akan manunggal pula dengan ruh-Nya untuk kembali pulang kepada Dia yang sebagai pemilik asalnya di tempat tunggal-Nya. Jiwa seperti inilah yang mengakui bahwa Dia-lah sesungguhnya pemilik segala sesuatu, termasuk apa-apa yang dianugerahkan kepadanya yang sesungguhnya hanyalah titipan atau amanah dari-Nya untuk dikelolanya dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak-Nya.
Berbahagialah dia yang telah berada dalam istana sadar yang dipenuhi cahaya petunjuk yang menghindarkan jiwanya dari pengakuan (kesombongan ego) yang merupakan penyesatan bujuk rayu iblis. Kesadaran yang dilandasi oleh keimanan yang semakin kokoh menguatkan jiwanya, membentengi dada-nya melalui aparat-aparat sebagai yang diutus-Nya untuk selalu berada disekitar dan menjaga dada kemanusiaan dari bisikan, godaan, serta bujuk rayu iblis dengan berbagai macam tipuan yang menggoda dan menjerumuskan keimanan setiap diri kemanusiaan kepada kesesatan.
Hidup dengan Sehat yang Abadi
Menjaga, memelihara, serta selalu mengokohkan keimanannya agar tidak terjerumus kepada kehidupan yang sia-sia, dengan menjalani hidup dengan sehat yang dianugerahkan kepadanya sebagai titipan yang merupakan amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
Renungkanlah, bila pola hidup sesat akibat jiwa yang tersesat, tentu akan membuat rusak pula jasad ini. Akibatnya, jelas akan mengganggu kesehatan-nya sendiri. Kesehatan adalah anugerahnya yang sungguh mahal dan bernilai tinggi, akan tetapi tidak terasa bila jasad ini sedang sehat.
Maka, rasakanlah ketika jasad ini sedang merasakan sakit, segala kenikmatan yang dirasakannya ketika sehat, tidak akan terasa nikmat. Segala petunjuk yang datang, tidak akan menjadi hikmah yang berguna, karena pikirannya sibuk dengan rasa sakitnya. Dan waktu telah terbuang selama sakitnya, begitupula biaya yang terbuang untuk berobat.
Keinginan dan kebutuhan akan materi dunia telah menyesatkan kebanyakan insan kemanusiaan dari menjaga kemurnian atau keikhlasan dalam setiap amal perbuatan yang seharusnya didasari keimanan yang murni terhadap Tuhan-nya, tidak disadari peran malaikat-Nya, peran rasul-Nya, dan tidak ingat petunjuk di kitab-Nya, serta tidak memandang jauh ke depan yaitu kepada hari akhir dan kadar baik-buruk. Sehingga amal perbuatannya hanya demi memenuhi kesenangannya belaka, tidak lagi perduli pada keselamatan di hari kemudian yang ditentukan oleh amal perbuatan saat ini.
Itulah pola kehidupan kebanyakan insan kemanusiaan saat-saat terakhir ini, petani tidak mau kotor, pedagang ingin untung besar, karyawan ingin upah besar tanpa perduli tanggung jawabnya pada perusahaannya, serta para pamong atau penguasa berusaha menumpuk harta tidak perduli pada rakyat yang diwakilinya. Dari struktur yang paling bawah hingga yang paling atas telah tidak lagi perduli pada kemurnian pengabdian. Hidup adalah pengabdian (ibadah). Dan sebaik-baiknya pengabdian adalah yang murni ikhlasnya.
“.... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Bila diselami secara mendalam, ternyata segala sesuatu ada pada rasa, rasa-lah yang membuat segala sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan senang, manis dan pahit, kaya dan miskin, semua rasa-lah yang mempengaruhi nilainya. Dan semua rasa ada dan berdiam di hati atau kalbu. Begitu pula kejernihan dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi penilaian rasa, semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs keburukan maka penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi jelas dalam menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas, seperti menerima datangnya malam setelah siang, karena bersama keburukan akan datang kebaikan sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan, seperti bayangan yang selalu ada di belakang cahaya.
sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”. (QS 94:6)
Hati yang tenang dan mudah dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa dan jasad (raga). Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh kekotoran hawa nafs keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak jasad dengan penyakit. Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan (kesombongan ego) akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs al mutma’innah yang terkendali.
Marilah kita, sebagai insan kemanusiaan, kembali mengokohkan keimanan serta memperbaiki masing-masing jiwa kita, yang dimulai dari diri sendiri. Dengan menyadari dan memahami betapa pentingnya pengokohan keimanan ini pada masing-masing setiap insan kemanusiaan demi keselamatan hidup di dunia dan kelak di hari kemudian. Sehingga, apabila masing-masing diri telah berusaha memperkokoh keimanannya, maka telah pula menciptakan kehidupan yang sehat secara bersama dan meluas hingga tercipta pulalah hidup bernegara yang sehat, baik dari struktur yang paling bawah sampai yang paling atas. Maka persoalan krisis moral kebangsaan yang saat ini telah diambang titik nadir, akan sedikit demi sedikit mengalami perbaikan dengan sendirinya, yang dimulai dari setiap individu warganegara. Paling tidak, demi anak cucu keturunan kita sebagai generasi penerus di masa kemudian.
Dengan begitu, kita secara bersama-sama, telah ikut menekan ongkos hidup dan kehidupan menjadi murah secara nasional, karena tertekannya angka korupsi, kolusi, nepotisme, pungli (pungutan liar), maupun premanisme yang telah membantu melonjakkan biaya hidup secara menyeluruh, dan menular hingga ke daerah-daerah terpencil.
Reformasi yang pernah terjadi hanya menyentuh bidang politik yang ternyata malah memboroskan biaya, dan tidak sanggup memperbaiki keadaan pola hidup bernegara bahkan tidak dirasakan masyarakat kelas bawah. Bukan malah memperbaiki keadaan, justru keadaan semakin parah. Korupsi semakin gila-gilaan, suap sana suap sini, saling sikut, bahkan penegakan hukum dapat diperjual-belikan. Karena sesungguhnya, yang dibutuhkan negri ini adalah reformasi moral individu per individu secara menyeluruh pada setiap warganegara. Yaitu mereformasi moral pada setiap jiwa (nafs) yang cenderung tersesat, yang menyebabkan jiwa masyarakat kita semakin tersesat jauh kepada kehidupan materialistis duniawi.
Adalah hal yang membingungkan, bagaimana biaya hidup kehidupan ini menjadi begitu mahal. Bisa saja ini dibolak-balik mana yang lebih dahulu menyebabkan mahalnya biaya hidup kehidupan. Seperti, untuk membeli bbm (bahan bakar minyak) yang semakin mahal, maka tukang ojek, bis kota, dan angkutan umum lainnya pun ikut menaikkan tarifnya. Atau harga-harga kebutuhan rumah tangga yang selalu naik. Maka masyarakat umum kebanyakan pun terpaksa mencari tambahan untuk menutupi biaya tersebut.
Tergiringlah semua kepada hidup kehidupan yang salah kaprah. Seperti oknum pegawai, pegawai negri ataupun departemen-departemen, dan pegawai swasta yang mensahkan pungutan-pungutan terselubung, sampai korupsi yang juga melibatkan para petinggi negara dan para wakil rakyat, sehingga akhirnya meluas pula kepada buruh swasta, pekerja profesional, pekerja mandiri, bahkan para pengangguran yang bekerja serabutan, dan semakin diperparah dengan maraknya premanisme yang semakin berkembang menjamur dan meresahkan serta membuat biaya kehidupan menjadi tinggi semakin tak terjangkau, karena terus naik tak pernah terpuaskan. Yang akhirnya balik kembali kepada diri masing-masing individu sebagai keluhan-keluhan, yang sesungguhnya, ternyata diri-diri kita sendirilah yang menyebabkan semua itu terjadi.
Padahal yang dikejar bukanlah uang-nya, melainkan cukupnya kebutuhan, yang ternyata tiada pernah tercukupi. Kebutuhannya terus berkembang tak pernah terpuaskan, selalu menginginkan lebih dari sebelumnya. Inilah akar masalahnya. Itulah makanya perlu kembali setiap individu menyadari pentingnya merevolusi jiwa-nya dengan kembali mengkokohkan keimanan-nya.
Usaha untuk mengingatkan akan bahayanya memuaskan kebutuhan dan keinginan pun bukanlah tak ada, malah selama sebulan dalam setiap tahunnya, diri-diri kemanusiaan sebenarnya telah dilatih, tetapi hasilnya seakan tak ada. Dengan berpuasa di bulan Ramadhan sebagai kewajiban orang yang beriman, sebenarnya adalah sebuah usaha untuk melatih jiwa agar dapat mengendalikan hawa nafsunya.
Tapi lihat dan sadarilah dengan jujur, sesungguhnya sama sekali tak mempengaruhi kejiwaan kita dalam mengekang hawa nafsu. Bukan hanya tidak menghasilkan seperti yang diinginkan dari setelah sebulan selama latihan dan penggodokan tersebut, bahkan dalam sebulan itu malah membuat gaya hidup berbelanja kita semakin berlebihan. Malah lebih besar dari bulan-bulan lainnya. Bahkan tak jarang yang menghabiskan tabungan yang dikumpulkan selama sebelas bulan bekerja, dihabiskan untuk keperluan satu bulan itu. Ramadhan sebagai bulan puasa menjadi hilang maknanya, dan lebih mengesankan sebagai bulan belanja umat muslim.
Apakah itu yang disebut dengan suasana latihan? Apakah setelah Ramadhan, saat lebaran atau hari raya Idul Fitri, kita pantas merayakan kemenangan? Kemenangan dari apa? Telah dapat mengekang dan mengalahkan hawa nafsu?
Lihat pula, betapa keadaan dan kondisi tersebut semakin lama semakin menjadi trend gaya hidup se-nasional, malah. Acara-acara di teve pun menjadi 24 jam non stop menghadirkan suasana perayaan, iklan-iklan produk berebut untuk sampai kepada pangsa terbesar yang justru sedang dilatih mengendalikan hawa nafsunya, bahkan berani mengobral hadiah-hadiah jutaan setiap harinya melalui kuis-kuisnya. Maka sadarilah, siapa sesungguhnya yang menciptakan iblis penggoda yang telah membuat kita terpeleset kepada kesesatan tersebut? Siapakah yang menyesatkan dan siapa yang tersesatkan? Tentulah diri-diri kita sendiri-lah yang bertanggung jawab atas semua itu.
Sungguh ironis, parahnya keadaan ini telah seperti benang kusut yang sangat sulit untuk mengurai dan memperbaikinya, selain mengembalikan kepada Tuhan yang Maha Tunggal dan Maha Kuasa, serta mengembalikan kesadaran setiap individu untuk pula dapat kembali memperbaiki kehidupan jiwa yang sehat, sebagai jiwa yang dapat menerima secara aklamasi, serentak, dan ikhlas untuk bersama-sama memperbaiki hidup kehidupan bersama yang sehat dan murah.
Menyadari bahwa apa yang terjadi hari ini adalah akibat dari perbuatan hari-hari sebelumnya, dan apa yang terjadi hari ini sungguh amat menentukan hari-hari kemudiannya, maka seharusnya telah cukup sebagai modal untuk mengkokohkan keimanan-nya kembali, demi memperbaiki keadaan ke depan sebagai yang kita wariskan kepada segenap keturunan kita. Melupakan segala kekelaman sebelumnya dan mengarahkan ke tujuan di depan yang lebih baik dan dapat dipertanggung jawabkan, kelak.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya. (QS 99:7-8)
Menikmati hidup yang sehat dengan bersyukur, yaitu dengan menghargai nikmat hidup dan anugerah sehat yang telah diberikan kepada-nya, adalah merupakan wujud pertanggung jawabannya dengan amal perbuatan yang menjadi rahmat pula bagi sesama di sekitarnya. Sebagai memurnikan tujuan amal perbuatannya, yaitu memulangkannya kembali segala nikmat dan anugerah kepada Dia yang sesungguhnya adalah pemilik segala sesuatu.
Hidup dan kehidupan yang sehat akan mudah membawa setiap insan kemanusiaan untuk menerima segala petunjuk dan hikmah kebijaksanaan yang mengarahkannya kepada keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Dan tubuh yang sehat adalah karena pola hidup yang sehat. Sementara pola hidup sehat ditentukan oleh jiwa yang sehat berdasarkan aturan atau jalan hidup (agama) yang lurus, diynul qayyimah. Saling berketerkaitan satu sama lainnya, tak perlu mencari yang mana lebih dulu untuk memulainya. Mulai saja sekarang salah satunya, ataupun sekaligus keduanya, karena keduanya sangat berkaitan dan menentukan satu sama lainnya.


CAHAYA: The Trilogy 40

CAHAYA: The Trilogy 40

The Trilogy 40


CAHAYA: The Trilogy17

CAHAYA: The Trilogy17

The Trilogy17


CAHAYA: PUPUH ISLAM

CAHAYA: PUPUH ISLAM

PUPUH ISLAM


Kamis, 30 Mei 2013

CAHAYA: MEYAKINI NASIB (TAKDIR) BAIK & BURUK

CAHAYA: MEYAKINI NASIB (TAKDIR) BAIK & BURUK: Bab VI MEYAKINI KADAR BAIK dan BURUK “Dan masa ( kebaikan dan keburukan ) itu , Kami pergilirkan di antara manusia (agar ...

Bab VI - MEYAKINI NASIB (TAKDIR) BAIK & BURUK




Bab VI
MEYAKINI
KADAR BAIK dan BURUK
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan yang kafir).......”
(QS 3:140)
M
engimani Kebaikan dan Keburukan adalah syarat mutlak bagi orang-orang yang beriman, dan pada pelaksanaan kehidupannya, bukan hanya sekedar beriman dan mempercayainya saja, melainkan dapat menerima-nya dengan tulus murni (ikhlas) sebagai bagian dari kehidupannya. Keimanan ini adalah keimanan dengan berprasangka baik kepada Allah, yang sesungguhnya hanya memberi nikmat dari rahmat kebaikan sebagai rahmat tunggal-Nya. Bukanlah rahmat yang buruk, kemanusiaanlah yang menilainya menjadi berpasangan. Bila tak sesuai atau berlawanan dengan keinginan dan harapannya, maka disebutlah sebagai keburukan.
Kadar baik dan buruk adalah merupakan suatu ketetapan Allah (sunathullah), yang memang selalu ada dan selalu menyertai setiap segala sesuatu yang merupakan ciptaan atau makhluk Allah. Kadar baik dan buruk, juga adalah merupakan bagian dari ketetapan Allah (sunathullah) yang terkandung dalam qudrat dan iradat-Nya kepada segala sesuatu makhluk ciptaan-Nya. Seperti siang dan malam, terang dan gelap, serta cahaya dan bayang-bayang. Dan segala sesuatu (ciptaan-Nya) tersebut tidak dapat menolaknya.
Menerima dan kemudian menjalaninya adalah mutlak bagi makhluk, dan dengan memanfaatkannya sebagai sesuatu yang berguna adalah wujud syukur atas segala rahmat-Nya tersebut. Sehingga membawanya kepada kesadaran, bahwa tiada yang buruk dari setiap ketetapan Allah. Malah membawanya kepada rasa bersyukur karena telah menerima hikmah-Nya, karena segala sesuatu yang diterimanya tersebut hanyalah rasa. Yang sesungguhnya pun adalah fana, sementara, hanya sekejapan mata, dan kemudian menjadi yang terlupakan karena telah ada lagi kesibukan lain yang perlu diurus dan harus pula segera diselesaikan.
Begitulah hidup. Sungguh hanyalah kesia-siaan, bila membawa terus menerus rasa tersebut, apakah itu kebaikan maupun keburukan, selain menjadikan beban, juga dapat menjadikan penyakit pada hati serta penyakit pada fisik. Masih banyak urusan atau pekerjaan lain yang harus diselesaikan, janganlah terpaku hanya kepada yang justru sia-sia pada akhirnya.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Baik dan buruk, serta segala sesuatu bersama pasangannya adalah karena di alam, sedangkan hal tersebut, sebenarnya adalah suatu yang mutlak ada sebagai ketetapan (sunathullah) yang tunggal, tidak berpasangan apalagi saling berlawanan. Hanya karena di alam, makhluk menganggap dan melihatnya seperti itu. Karena di alam, maka segala keterbatasan menjadi ada, itupun adalah ketetapan-Nya.
Pasangan Segala Sesuatu
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS 51:49)
Lihat, dan pikirkanlah segala sesuatu di alam ini, makhluk hidup ataupun tanaman, bermacam benda, rasa yang berupa keadaan atau suasana, serta kejadian apapun, sesungguhnya semua itu berpasangan. Membuktikan bahwa segala sesuatu selain Dia adalah makhluk ciptaan-Nya. Juga, segala sesuatu tersebut saling berinteraksi atau berketerkaitan satu sama lainnya menciptakan sistem semesta yang saling terkait dan menguntungkan, simbiosis mutualisme, yang telah ditetapkan oleh-Nya (sunathullah).
Sejauh mata memandang, dan sedalam-dalamnya berfikir, jika pada akhirnya dapat menemukan sesuatu yang tunggal, maka Dia-lah Allah. Yang patut disembah dan dipuja, karena oleh Dia-lah maka segala sesuatu yang terlihat, banyak, akbar, serta sempurna, menjadi ada dan nyata. Akan tetapi takkan mungkin Dia dapat dilihat dan ditemukan layaknya melihat dan menemukan sesuatu benda. Mustahil kemungkinan yang dicipta dapat melihat dan menemukan Sang Pencipta-nya. Hanya dengan hati yang bersih dari pengakuan (ego) maka keberadaan dan kuasa-Nya dapat dirasakan dalam bentuk rahmat-Nya yang tiada habis-habisnya terasa, apalagi terhitung.
Berpasang-pasangan adalah sifat makhluk sebagai ketetapan mutlak-Nya, juga sebagai perwujudan Akbarnya Dia di semesta alam beserta isi atau makhluk ciptaan-Nya yang begitu luasnya tak terukur dan tak terbilang.
Selain wujud nyata yang terlihat seperti makhluk, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat, dan benda tak hidup (anggapan sementara secara umum), baik yang nyata dan tak nyata, semuanya memiliki pasangannya. Begitu pula kepada rasa dan sifat yang dialami makhluk atau benda tersebut memiliki pasangannya pula. Sebagai makhluk, maka menilai semua pasangan yang dirasakan atau dialami bathinnya terangkum sebagai kebaikan atau keburukan. Bila kebaikan, maka diterimanya bahkan diharapkannya. Dan bila keburukan, maka ditolak atau dihindarinya.
Padahal keduanya, yaitu kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang pasti dan harus dialami sebagai ketetapan mutlak kehidupan dari yang memiliki sejatinya kehidupan yang mutlak, yaitu Dia. Dan bagi makhluk yang sebagai penerima, yang dapat atau harus menerima. Dan segala sesuatu yang diterimanya sebenarnya adalah rahmat Allahu Rahmaanur-rahiiym. Bagaimana mungkin Dia yang Maha Pemurah lagi Penyayang memberikan keburukan? Carilah hikmahnya, maka kelak diri akan bersyukur sekalipun yang sebelumnya dianggap sebagai keburukan, kemudian ternyata membawa manfaat yang merupakan kebaikan.
“Karena sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Keburukan, adalah ibarat bungkus yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya. Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego), maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet, hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan? Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Ada sedikit contoh sebagai hikmah, sodorkanlah segala macam makanan yang enak dan nikmat kepada orang yang sedang sakit gigi sebagai suatu kebaikan. Tentu dia akan menolaknya sebagai suatu keburukan yang harus dihindarinya. Maka hikmahnya adalah, kenikmatan apapun yang merupakan kebaikan yang diberikan akan menjadi keburukan bagi bathin yang sedang kacau. Apapun menjadi serba buruk, hanya obat kacaunya yang dia butuhkan. Bathinlah yang menentukan kebaikan ataupun keburukan yang diterimanya. Dan bila diterima salah satunya, maka pasti pula akan menerima pasangannya kelak kemudian. Karena segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”  (QS 21:35)
 Kita telah dapat menerima lapar setelah kenyang, menerima malam setelah siang, bahkan, maaf, menerima ‘buang air’ setelah masuknya makanan dan minuman. Menerima itu sebagai ketetapan yang harus diterima, akan tetapi cobalah pikirkan dan renungkan bila datang pula ketetapan lain dari-Nya. Seperti, saat lapar tetapi tidak ada makanan atau uang untuk membelinya, kelaparan yang terjadi. Atau, saat tiba malam datang tetapi pas terkena giliran pemadaman listrik, merana yang terjadi. Serta, susah ‘buang air’ setelah banyak makanan yang masuk.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Padahal, sekalipun ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang. Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah penilaiannya sendiri yang justru yang dapat menjerumuskannya.
Dikatakan menjerumuskan, bila diri terhanyut dan terlena oleh kebaikan, atau menolak keburukan yang datang yang ternyata  akibat dari perbuatannya. Lupa bersyukur bila menerima kebaikan karena hanyut dan terlena pada kenikmatannya, dan akan menyebabkan datangnya pasangannya (keburukan) yang semakin besar keburukannya akibat sebelumnya diri yang hanyut dan terlena. Keburukan yang pasti datang setelah kebaikan, adalah mutlak, akan tetapi hanyut dan terlena rupanya ikut menambahkan akibat-akibat baru yang semakin memperburuk keadaan dirinya. Bila tidak diputus ‘rantai’ hanyut dan terlenanya, maka akan terus berlanjutlah keburukan-keburukan yang akan timbul.
Seperti efek domino. Sekalipun hadir sesekali kebaikan sebagai rahmat-Nya, tapi terasa tak mencukupi untuk menutupi keburukan akibat hanyut dan terlena pada masa sebelum-belumnya, sebagai akibat yang satu per satu yang harus dituai, kelak sebagai hari kemudian-nya. Diperlukan sikap tegas dan mental yang kuat untuk beralih, setelah menyadari, dan mulai mengambil jalan lurus-Nya (taubatan nassuha).
Begitupun sebaliknya, kebaikan yang pasti datang setelah keburukan. Keduanya adalah sebagai yang pasti datang dan harus diterima diri-diri kemanusiaan sebagai rahmat-Nya. Sekalipun sekaliber nabi, tetap harus menerima keduanya. Hanya mereka yang mulia dan berakhlak terpuji sajalah yang dapat rela dan ikhlas menerima keburukan seperti menerima kebaikan, dan menganggap keduanya adalah rahmat dari Tuhannya.
Sabar, Bersyukur & Hidup Menerima
“Dan, orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS 13:22)
Kesabaran adalah suatu upaya yang mengorientasikan kebenaran dalam amal perbuatan agar tidak menimbulkan kekecewaan atau penyesalan (bagi dirinya maupun pihak lain) dibelakang hari. Kesuksesan adalah buah dari amal perbuatan yang diiringi kesabaran. Seperti yang sebelumnya telah diulas dalam uraian-uraian sebelumnya, wajah Tuhan yang dicari tersebut, ternyata dapat dicari pada perwujudan-Nya yang berupa semesta alam berikut isinya. Kesabaran mencari-Nya ternyata malah membawanya kepada memahami diri-nya sendiri, yang justru hanyalah kefanaan tanpa arti bila tanpa para aparat Allah. Kesabarannya itu pulalah yang membawanya kepada lebih menghargai kehidupan baik bagi diri-nya sendiri maupun kepada sesamanya serta makhluk-makhluk Allah lainnya. Sebagi wujud rasa bersyukurnya atas rahmat petunjuk-Nya yang membawanya kepada keselamatan hidup.
Kesabaran juga dapat menolak kejahatan seperti diterangkan ayat diatas. Dikarenakan kesabaran adalah salah satu upaya amal perbuatan yang baik, maka kebaikan itulah yang dapat menolak kejahatan untuk tidak jadi datang kepadanya.
Lihat dan perhatikanlah, manusia yang selalu menjaga amal perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air (mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya itu pun akhirnya akan kembali kepada manusia. Ia akan merasakan nyaman dan tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan, tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Inilah salah satu contoh menolak kejahatan dengan kebaikan. Yaitu kesabaran dalam kebaikan yang hasilnya kembali kepadanya berupa nikmat yang sungguh untuk dapat disyukurinya. Atau dalam makna lain dari ayat tersebut adalah, mencegah kejahatan atau keburukan agar tidak datang, yaitu dengan mendahului perbuatan kebaikan.
“Karena sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Begitulah pasangan segala sesuatu tersebut sebagai yang akan datang secara bergantian. Dengan demikian, kesulitan yang sedang melanda dirinya, dihadapi dengan kesabaran sebagai wujud keberserah dirian (islam) kepada Tuhannya. Dan mereka yang telah berserah diri (islam) tentunya meyakini kemudahan yang akan datang dari Tuhannya dengan bersyukur.
Bila sabar dan bersyukur adalah dua hal yang merupakan pasangan, maka sabar-nya adalah merupakan tindakan atau upaya pertahanan terhadap keburukan yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa bersyukur-nya adalah wujud puja-puji kepada yang memberi kekuatan (yaitu Allah) untuk dapat melewati keburukan, dan kemudian sebagai menerima lagi kebaikan setelah keburukan itu berlalu.
Akan tetapi, ternyata, kesabaran bukan saja hanya pada keburukan yang diterima, melainkan pula pada kebaikan sebagai anugerah dari-Nya. Karena anugerah kebaikan yang datang dan diterima, bila tidak disertai pengelolaan yang baik dalam kelurusan-Nya, pada akhirnya akan membawa bencana keburukan. Segala sesuatu datang dan hadir pasti bersama pasangannya.
Dan pada orang-orang yang telah memahami makna kadar baik dan buruk sebagai sesuatu yang alami (sunathullah), yaitu menghadapi keburukan seperti melalui malam sebagai sesuatu yang memang pasti dihadapi. Seperti pula, maaf, harus ‘buang air’ bila tak mau dihinggapi penyakit. Maka diri ini telah menerima hidup sebagai makhluk Allah, bahwa dia adalah hanya wadah kosong yang telah siap diisi oleh kehendak-Nya.
Adalah sifat makhluk, menerima segala sesuatunya, baik itu wujudnya yang merupakan perwujudan-Nya, hidupnya adalah hidup-Nya, penglihatannya juga merupakan penglihatan-Nya, bahkan pendengarannya adalah karena karunia dari-Nya. Dan kepada hal yang lebih kita ketahui dan sadari bahwa bukanlah diri kita yang memerintahkan, seperti kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari-jemari dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga, perintah kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan. Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang pula kita tidak menyadarinya.
Tiada sedikitpun peran serta diri kita terhadap semua hal tersebut. Diri hanya ikut menyaksikan dan merasakan, dan bukanlah operator-nya. Lantas mengapa ada dosa dan menanggung dosa?
Karena di alam maka keterbatasan menjadi ada, serta mengurungnya dalam kesempitan pandangan atau pemahaman, dan segala sesuatu ciptaan-Nya menjadi berpasang-pasangan, termasuk keinginan diri. Bila keinginan diri lebih cenderung kepada menyaksikan dan merasakan keburukan, maka dosalah yang dihadapinya. Dan iblispun dengan siasatnya dapat ikut berperan, mengemas keburukan agar dipandang indah sebagai kebaikan oleh diri supaya tersesat. Itulah tipu daya iblis. Pada diri seperti ini, malaikat telah berubah menjadi iblis yang membangkang perintah Tuhannya, dan tidak mau tunduk (sujud) kepada keturunan Adam (lihat dan pahami kembali uraian keimanan kepada malaikat).
Pada diri, menerima keburukan untuk mengetahui kebaikan, yang sesungguhnya adalah tujuan utama sebenarnya. Maka, menerima dosa untuk segera mengejar pahala kebaikan yang masih banyak tersebar menunggu untuk diraih, merupakan yang perlu disadarinya. Adalah hal yang tak wajar bila menyeimbangkan keburukan dengan kebaikan. Minimalkanlah keburukan sekecil mungkin, dan maksimalkan sebesar-besarnya kebaikan.
Itulah manajemen hidup pada umumnya. Seperti pedagang yang tak ingin merugi terus-menerus atau bahkan seimbang, pas-pasan, yang berarti tiada keuntungan. Seperti seorang supir yang meminimalkan terjadinya kecelakaan dengan memeriksa terlebih dahulu kendaraannya, seperti oli, aki, rem, dan lampu-lampu sebelum bekerja mengendarainya.
Segala sesuatu selalu bergerak menuju kepada kesempurnaan, yaitu kebaikan. Itulah yang sesungguhnya hidup menerima. Menerima ketetapan dan kehendak-Nya, yaitu mencapai kesempurnaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling berbagi rahmat kepada sesama (sebagai makhluk) semesta alam.
Hanya Tuhan yang Maha Esa atau Allah yang Maha Tunggal yang hidup, dan selainnya, segala sesuatu termasuk diri kemanusiaan, yang merupakan ciptaan-Nya, yang dapat hidup karena menerima kehidupan dari Dia yang juga Maha Hidup. Dan dengan kehidupan tersebutlah, maka menyebabkan segala sesuatu menjadi memiliki arti atau nilai. Insan kemanusiaan yang menerima anugerah seluruh ke-20 (dua puluh) sifat Allah, dari wujud sampai mutakalimaan, adalah merupakan fitrah-nya sebagai ketetapan-Nya yang takkan pernah berubah.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Bila pada hidup-nya saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya, termasuk keburukan.
Kenalilah diri sendiri, yaitu dengan berusaha mengenal Tuhan-nya. Atau kenalilah Tuhan-nya, yaitu dengan berusaha mengenali diri-nya sendiri. Keduanya adalah cara untuk dapat menerima segala sesuatu, baik itu anugerah dan bencana, kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan, kemudahan dan kesulitan, kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, dan segala sesuatu yang lainnya yang merupakan isi dalam hidup yang pula diterima dari Tuhannya. Sehingga mencapai puncak kesadaran, bahwa sesungguhnya diri-nya lah yang tidak ada (gaib). Wujud-nya adalah karena diwujudkan, hidup-nya adalah karena dihidupkan, kekuatan-nya adalah karena diberikan kekuatan, bahkan nafas-nya pun karena diberikan, kematian-nya pun adalah karena diberikan oleh Dia sesungguhnya Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tiada yang luput dari kuasa-Nya.
Maka keikhlasan adalah mutlak wajar sebagai perwujudan rasa menerima-nya sebagai sebuah kemurnian ibadah (amal perbuatan)-nya sebagai insan kemanusiaan yang ada dan bernilai hanya karena dan kehendak Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah Allah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi serta yang berada diantara keduanya. Tidaklah segala sesuatu tersebut yang terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Orang yang memiliki kelapangan dada untuk berserah diri (islam) tentu seharusnya memiliki pula kesabaran. Sebab, mereka yang melapangkan dadanya akan lebih membuka hatinya terhadap masuknya limpahan cahaya petunjuk dari Tuhannya.
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”  (QS 6:125)
Siapapun diri itu, yang telah mencapai kesabaran, memiliki kelapangan dada untuk keberserahan diri (islam)-nya kepada Yang Maha Kuasa. Apapun alasan penolakan terhadap ini, sesungguhnya dia telah memiliki iman dan keyakinan-nya, hanya tinggal tahapan pencapaian kebenarannya untuk mendapatkan yang haqq yang, mungkin saja, belum tercapai. Bahkan diri-diri yang merasa telah mencapai kebenaran pun, sesungguhnya belumlah mencapai kebenaran yang haqq, hanya sedang mengarah kesana. Maka, adalah naif, bila kita telah berani menetapkan bahwa dia belum islam (berserah diri). Jadi, hanya tingkatan keikhlasannya-lah yang membedakan kedudukan seseorang di mata Tuhannya, bukan di mata manusia.
Kesabaran-lah yang sesungguhnya dapat menerima secara ikhlas bahwa diri sedang mengalami kesulitan, sedang mengalami kebangkrutan, sedang mengalami fitnah, sedang mengalami musibah. Yang kesemuanya hanyalah keadaan yang sementara sifatnya, tidak kekal dan abadi, serta akan berakhir. Seperti terangnya siang yang diakhiri oleh senja, kemudian datangnya malam yang gelap. Begitulah kehidupan yang di dalamnya begitu beragam pasangan segala sesuatu yang mengisinya, sehingga terasalah nikmatnya.
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
Bayangkanlah bila hidup ini monoton, kita hanya menerima kemudahan atau kebahagiaan saja, apakah akan terasa nikmatnya? Bagaimana bisa kita merasa bahagia bila tak pernah mengalami kesedihan? Dan bagaimana bisa kita merasa adanya kemudahan bila tak pernah mengalami kesulitan? Adakah di alam ini yang kita temui tak bersama pasangannya? Bila kesadarannya telah melampaui ini, maka kesabaran-nya telah melebur kepada rasa syukur-nya, sehingga yang tinggal hanya puja-pujian kepada Tuhannya.

Dengan melakoni hidup menerima adalah bentuk usaha menghilangkan pengakuan (ego) yang membelenggunya, kemudian melangkah kepada mengakui segala keagungan dan kemurahan Tuhannya atas apa-apa yang telah diterimanya sebagai anugerah yang dititipkan atau diamanahkan kepadanya yang kelak perlu dipertanggung jawabkan sebagai amal perbuatan untuk bekalnya di hari kemudian.